Puisi awal untuk materi belajar pertama di masa pandemi covid 19 tanggal 8 April 2020
Senin, 09 November 2020
Minggu, 08 November 2020
Gaya Bahasa dan contohnya
Assalamuallaikum., Wr.,Wb.,
Di dalam karya sastra tentunya terdapat gaya bahasa yang sangat menarik yang dituangkan dalam goresan penanya si penulis. berikut adalah contoh-contoh gaya bahasa yang sering kita temui dalam karya sastra.
Gaya Bahasa (Majas) perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang menyatakan perbandingan. Perbandingan tersebut diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda terganting dengan bahasa yang digunakan.
Majas perbandingan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:
1. Majas Personifikasi
Majas personifikasi yang seolah-olah menjadikan benda mati seolah-olah makhluk hidup. Contohnya:
- Ia
membiarkan pulpen itu menari-nari di atas kertas untuk menghasilkan
tulisan mengagumkan.
Penjelasan: Pulpen di personifikasikan seperti manusia yang mampu menari, padahal tidak - Daun
yang tertiup angin berjoget layaknya tidak memiliki masalah.
Penjelasan: Daun di personifikasikan seperti manusia yang mampu berjoget, padahal tidak
2. Majas Tropen
Majas tropen merupakan majas yang menggunakan kata-kata uang tepat atau sejajar untuk mengambarkan kondisi atau pengertian tertentu. Contohnya:
- Andini
telah terbang menggunakan pesawat Sriwijaya, maka jangan kau hanyut dalam
kesedihan berkepanjangan.
Penjelasan: Perbandingan yang diutarakan dalam kalimat tersebut adalah jangan sedih yang berkepanjangan karena Andini telah pergi juga.
3. Majas metafora
Majas metafora merupakan majas yang menggunaan suatu benda atau objeck untuk menggambarkan sifat yang ingin diutarakan. Contohnya:
- Meskipun
Nina adalah anak emas, dia tidak pernah manja pada orang
tuanya.
Penjelasan: Anak emas berarti anak kesayangan, bukan anak yang terbuat dari emas. - Warga
yang ketahuan mencuri akan menjadi buah bibir orang-orang
di sekitarnya.
Penjelasan: Buah bibr berarti bahan pembicaraan, bukan buah yang berbentuk bibir.
4. Majas Asosiasi
Majas asosiasi merupakan majas yang digunakan untuk membandingkan dua objek berbeda yang dianggap sama, biasanya ditandai dengan penggunaan kata bagaikan, seperti ataupun bak. Contohnya:
- Wajah
kedua orang itu sangat mirip bak pinang dibelah dua.
Penjelasan: Wajah kedua orang tersebut karena kembar diibaratkan oleh buah pinang yang dibelah dua. - Teman-teman
Rina bosan jika ia berpendirian bagai air di daun talas.
Penjelasan: Berpendirian yang berubah-ubah diibaratkan seperti air di daun talas.
5. Majas Hiperbola
Majas hiperbola merupakan majas yang mengungkapkan sesuatu dengan cara melebih-lebihkan hal tersebut, terkadang perbandingan yang duat terasa tidak masuk akal. Contohnya:
- Ayah
bekerja siang malam membanting tulang tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri.
Penjelasan: bekerja membanting tulang maksudnya bekerja dengan keras - Suaranya
ketika menyanyi membuat hancur seisi dunia.
Penjelasan: suaranya sangat buruk seakan menghancurkan seisi dunia
6. Majas Eufemisme
Majas eufemisme merupakan majas yang menggunakan kata sopan atau sepadan yang lebih halus untuk mengganti kata yang kurang etis. Contohnya:
- Penderita
difabel tetap bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dibantu oleh dosen
khusus.
Penjelasan : kata difabel digunakan untuk mengganti kata cacat. - Penyandang
tuna rungu bisa mengakses layanan perpustakaan kampus.
Penjelasan: Tuna rungu digunakan untuk mengantikan kata tuli.
Gaya bahasa (majas) Pertentangan
Majas pertentangan merupakan majas yang menggunakan kata kiasan bertentangan dengan fakta sesungguhnya.
Majas pertentangan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:
1. Majas paradoks
Majas paradoks merupakan majas yang membandingkan situasi sebenarnya dengan kebalikannya. Contoh:
- Lila
merasa kesepian di tengah keramaian.
Penjelasan: keadaan sepi bertentangan dengan keramaian - Badannya
itu kecil, tapi dia sangat kuat
Penjelasan: tubuh yang kecil berbanding terbalik dengan kekuatan
2. Majas Litotes
Majas litotes digunakan untuk merendahkan diri, meskipun keadaan sebenarnya lebih bagus dari apa yang diungkapkan. COntoh
- Kapan-kapan
jika pergi ke Bogor, saya harap Anda mau mampir ke gubuk kami.
Penjelasan: Gubuk yang dimaksud adalah rumah yang megah - Selamat
menikmati hidangan ala kadarnya ini!
Penjelasan: Makanan ala kadarnya di sini adalah makanan yang lengkap lauk, pauk dan sayur.
3. Majas antitesis
Majas antitesis merupakan majas yang menggabungkan kata yang saling bertentangan. Contohnya:
- Baik
buruk perbuatannya akan mendapatkan balasan suatu saat nanti.
Penjelasan: Baik dan buruk kata yang bertentangan dan disandingkan menjadi satu - Jangan
pernah menilai seseorang hanya melihat benar salah perbuatannya.
Penjelasan: benar dan salah kata yang bertentangan dan disandingkan menjadi satu
Gaya bahasa (majas) sindirian
Majas sindiran merupakan majas yang menggunakan kata kiasan untuk mengungkapkan sindiran kepada sesuatu atau seseorang.
Majas sindiran dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:
1. Majas Ironi
Majas ironi merupakan majas yang menggunakan ungkapan bertentangan dengan fakta, biasanya majas ini seakan-akan memberi pujian tetapi sebenarnya merupakan suatu sindiran. Contohnya:
- Rajin
sekali, jam dua belas baru bangun.
Penjelasan: Jelas-jelas jam 12 sudah siang, tetapi diungkapkan dengan kata rajin - Sudah
berapa hari tidak mandi? Kok badanmu sangat harum.
Penjelasan: Tidak mandi tetapi badannya sangat harum, padahal jika tidak mandi berbau busuk
2. Majas Sinisme
Majas sinisme adalah majas yang menyampaikan sindiran secara langsung pada objek yang dimaksud. Contohnya:
- Gulingmu
sangat bau, seperti tidak pernah dicuci.
Penjelasan: Secara langsung menjelaskan keadaan sebenarnya - Badannya
gemuk sekali seperti orang yang kelebihan gizi.
Penjelasan: Secara langsung menjelaskan keadaan sebenarnya
3. Majas Sarkasme
Majas sarkasme adalah majas sindirian yang menggunakan ungkapan atau kata kasar. Penggunaan majas ini bisa saja melukai perasaan orang yang sedang mendengarnya. Contohnya:
- Pergi
dari sini! Kamu hanyalah sampah masyarakat yang harus
dimusnahkan dari muka bumi ini.
Penjelasan: Penggunaan sampah mesyarakat merupakan kata sarkas untuk menggambarkan orang yang sangat bodoh. - Kau
ini benar-benar otak udang!
Penjelasan: Penggunaan otak udang merupakan kata sarkas untuk menggambarkan orang yang sangat bodoh.
Gaya bahasa (majas) penegasan
Majas pertentangan merupakan majas yang menggunakan kata kiasan untuk meningkatkan pengaruh kepada pembacanya supaya menyetujui sebuah ujaran, atau kejadian.
Majas penegasan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:
1. Gaya bahasa atau majas Pleonasme
Majas pleonasme merupakan majas yang menggunakan kata bermakna sama untuk menegaskan sesuatu. contohnya:
- Majulah ke depan agar orang-orang bisa menyaksikan penampilanmu.
- Turunkan tangan ke bawah setelah menjawab soal yang diberikan guru.
2. Majas Repetisi
Majas repetisi adalah majas yang menggunakan kata berulang pada kalimat. contohnya:
- Dia adalah penyebabnya, dia si perusak barang, dia yang membuat kotak ini rusak.
- Saya ingin menjadi lebih baik, saya ingin membanggakan orang tua, saya ingin membuat mereka bahagia.
3. Majas klimaks
Majas Klimaks adalah majas yang digunakan untuk mengurutkan gagasan dari yang terendah sampai tertinggi. Contohnya:
- Bayi, anak kecil, remaja, orang dewasa hingga orang tua sekarang diwajibkan memiliki Kartu Tanda Penduduk.
- Uang ratusan rupiah pun saya tidak punya, apalagi ribuan, jutaan, milyaran, triliunan.
4. Majas antiklimaks
Berkebalikan dengan majas klimaks. Majas antiklimaks adalah majas mengurutkan gagasan dari tinggi ke rendah. Contohnya:
- Kini kekeringan melanda rata di seluruh perkotaan, pedesaan hingga pegunungan.
- Jangankan satu juta rupiah, seratus ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah bahkan seratus rupiah pun saya tidak punya.
MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK ROBOHNYA SURAU KAMI
ROBOHNYA SURAU KAMI
SINOPSIS :
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang kerap disapa Kakek itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin beribadah menyembah Tuhan. Ia begitu yakin ia akan masuk ke surga. Namun Tuhan Maha Tau dan Maha Adil, Haji Saleh yang begitu rajin beribadah di masukan ke dalamma neraka. Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk neraka, karena itu ia bersembahyang. Tapi ia melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan anak isterinya, sehingga mereka kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis. Padahal di dunia ini kita berkaum, bersaudara semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu sedikit pun. Crita ini yang membuat kakek tersindir dan merasa dirinya murung.
Kakek memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
UNSUR INTRINSIK :
• Tema :Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat : 1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
• Latar
-Latar Tempat
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
-Latar Waktu
Beberapa tahun yang lalu.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin.
• Penokohan
Tokoh-tokoh penting dalam cerpen ini
ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Sudut Pandang
Di dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya bahasa
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata. Gaya bahasanya sulit di pahami, gaya bahasanya menarik dan pemilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagaman.
UNSUR EKSTRINSIK :
· Nilai sosial
Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
· Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
· Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
· Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
· Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai dalam masyarakat.
HAL-HAL YANG MENARIK
1. Surau tidak difungsikan, anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain berbagai macam kesukaan, dan perempuan sering mencopoti papan atau lantai di malam hari untuk dijadikan kayu bakar. Bersikap masa bodoh dan tidak memelihara sebagai mana mestinya,
2. Bualan Ajo Sidi tentang kejadian di neraka membuat si kakek akhirnya muram dan akhirnya bunuh diri.
3. Seorang laki-laki menikah dan hanya mengabdikan hidupnya sepanjang hari di surau tanpa memikirkan hidup duniawi harta ataupun kekayaan, dan melalaikan tugasnya sebagai seorang suami dan seorang ayah.
4. Taat beribadah saja, membiarkan negara kacau balau, melarat, hasil bumi dikuasai negara lain tanpa memikirkan kehidupan anak cucu, pemalas dan tidak mau bekerja,
5. Melakukan perbuatan sesat dengan cara bunuh diri,
6. Ajo Sidi tidak ikut melayat orang yang meninggal akibat bualannya, hanya berpesan agar dibelikan kain kafan 7 lapis sedangkan dai tetap pergi bekerja.
Cerpen "Siluet Senja"
Cerpen lama yang menyentuh hati,
SILUET SENJA
Oleh: Fanny Yusuf Irawan
Kubaca sekali lagi deretan nama-nama
yang terpajang di kertas pengumuman itu. Sama saja. Tetapi tidak ada namaku
tertulis di sana. Tidak ada satupun susunan huruf yang menyatakan bahwa Ali
Husna, siswa kelas IIB lolos seleksi. Bahkan, di daftar pemain cadangan
sekalipun.
Wajahku
menegang. Dadaku menggelegak, geram. Tanganku mengepal dan serta merta kupukul
papan pengumuman itu hingga bergerak. Ku tak peduli dengan beberapa pasang mata
di tempat itu yang menatapku heran. Segera aku berlalu dari aula student center
dengan telapak tangan mulai terasa berdenyut, nyeri. Tapi perasaan sakit justru
lebih terasa di sini, di hati. Aku terbuang dan aku marah. Namun, aku tidak
tahu harus kulampiaskan pada siapa, yang juga pantas aku persalahkan dalam hal
ini.
Hilang
sudah. Tidak ada lagi harapan. Apa yang kuperjuangkan semua ini percuma saja.
Semua cuma sampah. Makiku dalam hati. Nafasku tersengal tak beraturan menahan
hempasan emosi, seiring debam jalanku menyusuri koridor sekolah.
Selepas
tikungan, kuperlambat langkahku kemudian kududuk menyandar di deretan bangku
panjang depan ruang perpustakaan. Lorong-lorong sekolah sudah mulai sepi dari
suara-suara penghuninya. Hingga dentang jam sebanyak empat kali yang terdengar
lama di ujung gang ruang kelas memecah kesenyapan dalam lamunanku. Tidak ada
siapapun di sini, selain beberapa anak yang berdiri bergerombol di samping
ruang OSIS, sebelah barat pintu laboratorium biologi yang berbatasan dengan
perpustakaan ini. Aktivis-aktivis SMU 1.
Sementara
jauh di depan sana. Di seberang lapangan upacara. Di halaman sport hall
sekolah, masih dapat kulihat sosok pak Dirman, guru olah raga sekaligus pelatih
ekskul bola basket kami. Dia berjalan mondar-mandir dan nampak berteriak-teriak
memberikan instruksi pada tim basket sekolah. Latihan perdana menghadapi
kompetisi bola baket antar SMU sekodya dimulai hari ini. Dan, namaku tidak
tercantum.
Kulemparkan
saja tas sekolahku hingga buku-buku di dalamnya berhamburan di lantai
sesampaiku di kamar. Aku duduk di tepi kasur tanpa ranjang yang berseprei penuh
dengan ornamen bunga matahari berwarna kuning.
Pandanganku
nanar menatapi benda-benda yang menjadi bagian dari kamar ini. Di atas pintu,
menempel ring basket kecil dengan papan pantul berwarna biru. Sementara di
sudut kamar tergantung kaos tim Atlanta Hawk dengan nama Sharif Abdurrohim di
punggungnya. Pemain favoritku. Yang tiap kali kupandangi dialah selalu
mengingatkanku pada semangatnya. Semangat bertanding seperti dia di NBA di sisi
lain kamar ini. Di bawah kaligrafi bertuliskan Bismillahirrahmanirrahim dengan khas bergaya Arab khufi, terpasang foto berbingkai kayu
itu terdapat gambarku mengenakan seragam basket diapit papa dan mama yang
memegang bola. Kenangan itu, selalu ada dibatinku. Di atas meja belajar nampak
pula beberapa majalah olahraga berjajar memenuhi rak buku. Sunyi.
Aku
mendesah. Rasa kesal itu belum hilang. Kurebahkan tubuhku dan kucoba memejamkan
mata. Namun, yang terlintas dalam benakku Cuma sebuah bayangan menakutkan.
Bayangan tentang diriku sendiri. Ini tidak adil. Benar-benar tidak adil.
Basket
adalah obsesiku. Aku ingin menjadi pemain profesional. Hingga tak pernah
kuluangkan waktu seharipun tanpa berlatih. Mama dan papa selalu memberiku
dorongan. Sesibuk apappun, mereka selalu meluangkan waktu untuk menyaksikan aku
ditiap pertandinganku. Aku masih ingat, dulu papa pernah berucap:
“Raihlah, bila itu keinginanmu. Dengan
usahamu sendiri. Tapi ketahuilah, itu semua bukanlah perjuangan dalam semalam.”
Kucoba
buktikan perkataan beliau, sedari SMP, lapangan basket merupakan ruang kelasku
yang kedua. Di sana aku belajar. Belajar tantang banyak hal. Kuakui, sedikit
banyak kudapatkan sesuatu yang baru dari sana. Juga tentang keyakinan ini.
Keyakinan yang membuat aku begitu yakin akan mampu menjadi yang terbaik. Sampai
kenyataan ini membenturku. Kenyataan yang baru kusadari setelah hari, minggu,
bahkan dalam hitungan tahun terlewati, saat kucoba untuk mewujudkan bagian dari
impianku, ternyata cuma untuk turut serta dalam kompetisi bila basket antar SMU
pun aku tidak mampu. Pecundang.
Aku
mendengus keras. Pasti ada yang salah. Ya, pasti. Akulah kesalahan itu. Aku
yang tak bisa berlari cepat. Aku yang tak mampu melompat tinggi, juga gerakanku
yang tidak segesit mereka.
Aku
menerawang. Ini pasti karena aku terlalu gemuk. Postur tubuhku pun tidak ideal
bagi seorang pemain basket. Tapi, ini tidak fair.
Sangat tidak adil. Mengapa harus aku. Mengapa musti aku yang bertubuh gendut.
Bukan mereka. Entah darimana datangnya, tiba-tiba kurasakan kebencianku
membuncah. Kebencian irrasional. Aku mulai membenci tubuhku sendiri. “Tuhan
tidak adil” pekikku tertahan.
Bola
melambung dan membentur papan. Meleset. Sudah yang kesekian kalinya shootingku tidak akurat. Bola kini
berpindah tangan. Bang Andre mendrible. Ia menunjukkan kemampuannya sebagai
pemain inti tim basket fakultas di kampusnya. Tubuhnya melayang sesaat,
kemudian ia sudah bergelantungan di ring. Sempurna.
Kuambil
bola dan kembali kucoba untuk menembakkannya ke ring. Terlalu pelan. Hingga
hanya menyambar jaringnya saja.
“hei...ada
masalah?” Aku tersentak. Masalah, batinku. Masalahnya adalah aku. Aku yang
terlalu gemuk hingga gerakanku lamban. Coba, andai aku bisa lebih kurus, aku
pasti bisa segesit itu, lompatanku pasti juga akan lebih tinggi. Lagi-lagi
bayangan itu muncul kembali. Kebencian menyeruak menutupi benak hingga tersisa
Cuma rasa benci.
“Dari
tadi aku perhatikan permainanmu jelek. Kenapa, kamu sakit?”
Tangan
kekar itu menyentuh bahuku.
“Ah...tidak.
tidak, Bang Cuma...”
“Cuma
apa?”
Aku
mendesah. Kumainkan bola basket di tangan dan membiarkannya berputar-putar di
ujung jariku. Ku edarkan pandangan mengitari lapangan. Lapangan basket yang
hanya berjarak tiga blok dari rumahku. Sepi, sesepi hari yang lain.
Di
sini cuma ada aku dan bang Andre, dialah satu-satunya penghuni blok F di
perumahan ini yang kukenal. Aku yang kuper atau para penghuninya terlalu
individualis. Entah.
Sejenak
aku duduk terpekur di lantai lapangan. Kemudian meluncurlah dari mulutku
semuanya. Kuceritakan padanya tentang keinginan, perjuangan selama ini juga
tentang kegagalan itu. Kegagalan yang tidak semestinya ada. Karena kata gagal
tak pernah aku jumpai dalam kamus hidupku.
Bang
Andre menatapku. Lama sekali. Hingga membuatku jengah.
“Husna,
kita duduk disana.” Katanya sambil menunjukkan sepetak tanah kosong tidak jauh
dari lapangan. Sepetak tanah yang berbatasan langsung dengan areal persawahan
di tepi luar perumahan.
Aku
bangkit. Kuikuti saja langkah bang Andre yang meninggalkan jejak bayangan
panjang dari tubuhnya yang tertimpa cahaya matahari sore. Keheningan melingkupi
hingga kebisuan menebarkan pesonanya di antara pucuk-pucuk padi hijau yang
berayun tersapu angin di depan sana.
Kulirik
sosok yang duduk di sebelahku. Rambut sebahunya berderai diterpa angin. Masih
saja mata yang tajam itu terpaku menatap redup matahari di ujung langit. Petang
selalu mengagumkan. Batinku, bulatan besar berwarna merah di cakrawala
dibayangi langit jingga dengan siluet awan keperakan. Distorsi warna biru
kelabu berbaur jingga seperti menjadi harmoni. Pada lukisan langit senja.
“Husna,
kau lihat itu...?” katanya tanpa menoleh ke arahku.
“ya....,”
“Indahkah
itu semua...”
Kucoba
memahami pertanyaannya. Indah. Tentu saja. Sangat indah bagiku. Dan dia pun
tahu itu. Sering aku memergoki dia sedang menatap langit sore dari loteng
rumahnya. Kurasa, ia pun menikmati indahnya horizon saat sore.
“Seperti
apakah warnanya...?”
Pertanyaan
filosofis. Semua tahu warna langit senja. Harmoni dalam matahari merah di
antara siluet awan membentuk sketsa abstrak. Sketsa berwarna jingga.
“Maksudnya...?”
Aku berbalik bertanya.
Bang
Andre tertawa kecil. Ia rebahkan badannya dan menatap lepas ke atas. Ke langit
yang belum sepenuhnya gelap.
“Aku
tidak pernah bisa merasakan indahnya kesempurnaan warna-warna, pun dari langit
senja ini.” Ujarnya pelan seperti berbisik.
Aku
makin tidak paham. Bicara apa dia.
“Tapi
pernahkah kau melihat aku mengeluh...?” sesaat ia menoleh ke arahku.
“Pernahkah
menyaksikan aku menyalahkan atas apa yang menimpaku atau sampai berpikiran
sempit dengan menganggap Allah itu tidak adil?”
Aku
tertohok. Namun, apa sebenarnya maksud pembicaraan ini. Ia menarik nafas dalam.
“Aku
menderita buta warna.” Ucapnya datar.
Namun
membuatku terhenyak. Lidahku mendadak kelu hingga terasa sulit untuk kembali
bersuara. “Bu...buta warna...” desisku. Terbayang olehku menatap remang layar
dunia bertirai keterbatasan warna.
“Namun,
aku tidak marah atau merasa perlu meratapinya. Tidak, tidak akan. Aku tahu apa
yang harus kulakukan. Bersyukur, itu saja. Aku masih dikaruniakan banyak
keindahan. Termasuk hingga detik ini masih dapat kusaksikan anggunnya senja.
Dalam siluet.”
Badanku
tersentak. Kusarankan sesuatu menjalari tubuhku.
“Husna...”
ucapnya kemudian. Lirih. “Seperti apapun hidup, syukurilah. Pahami dalam setiap
rangkaiannya pasti ada makna. Sebab tak ada yang sia-sia di dalam hiduku,
hidupmu juga kehidupan ini.”
Perasaan
aneh seperti menderu di kedalaman relung jiwa. Rasa berdosa seolah telah
menamparku. Aku tertunduk lemah bak kehilangan tulang penyangga tubuh.
Tiba-tiba aku merasa sangat inmgin menangis. Sangat ingin menumpahkan airmata
penyesalan ini pada sebuah sujud panjang.
“Astagfirullah...” gumamku
terpatah-patah. Terlalu lirih mungkin desahku itu hingga seperti hilang
tertelan desir angin petang.
Annida, Nomor 26/XI/25 September 2002
Materi dan contoh unsur intrinsik novel beserta kutipan dan sinopsis novel Makrifat Cinta
Ringkasan Materi Unsur Intrinsik
1.tema
Tema merupakan ide yang mendasari suatu
cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan
karya fiksi yang diciptakannya.
2.
setting/lattar
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisik dan psikologis
3. Alur
atau Plot
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita
4. Penokohan
dan Perwatakan
Penokohan atau tokoh mengandung pengertian pelaku mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita
Perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan lahirnya maupun keadaan batinnya yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, dan adapt-istiadatnya
5.
Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya
6.
amanat
Amanat adalah pesan atau nasehat yang terdapat dalam karya sastra
7.
gaya bahasa
Gaya adalah cara seseorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembacanya
IDENTITAS NOVEL
Judul : Makrifat Cinta (Novel Spiritual Pembangun Iman)
Karya : Taufiqurrahman al-Azizy
Tahun terbit : 2007
Penerbit : DIVA Press
Tebal Novel : 399 halaman
Sinopsis
Seorang pemuda berusia 25 tahun, memiliki akhlak yang mulia, mampu melewati kegelisahan hati mencari cinta yang hakiki. Pemuda yang hafal al-Qur’an ini mengalami kegundahan hati. Hal ini dikarenakan amanah dari Kiai Abdullah Shidiq atau biasa dipanggil dengan Kiai Sepuh untuk datang tepat waktu setelah tiga tahun berlalu. Kedatangan tersebut dengan tujuan untuk menjemput kekasih yang akan ia nikahi.
Dari ketiga gadis yang teramat ia cintai, ia harus memilih salah satu diantaranya. Mereka adalah Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Ketiga gadis ini adalah gadis yang baik, memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia. Zaenab itu gadis yang baik, memiliki wawasan dan ilmu agama yang luas, akhlaknya baik, tutur katanya lembut dan sopan. Khaura adalah gadis yang lugu. Dia adalah gadis yang termuda diantara Zaenab dan Lia. Dia jujur, polos, memiliki keinginan kuat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran Allah, memiliki prinsip dan pendirian yang kuat pula, dia tegas, dan pemberani. Sedangkan Priscillia ia adalah gadis yang tegas, teguh akan keyakinan, berani dan muslimah yang soleh dan berakhlak mulia. Ia dengan ikhlas meninggalkan keluarganya untuk mempertebal keimanannya terhadap Islam dan ia pun menunggalkan agama Kristen yang ia dapat dari garis keturunan keluarganya. Sulit bagi Iqbal untuk memilih salah satunya. Namun, ia pun tidak sanggup untuk menikahi ketiganya.
Dalam keadaan yang membingungkan ini, masalah bertambah katika Kang Rakhmat meninggal karena penyesalannya terhadap perbuatannya kepada Iqbal di masa lalu.
2
Ia memberikan wasiat cinta dengan meminta Iqbal untuk menjaga Aisyah, kekasihnya. Iqbal pun bertambah kalut. Ia dihadapkan dengan empat gadis yang sangat ia sayangi. Iqbal tidak mencintai Aisyah layaknya seorang laki-laki kepada perempuan, melainkan ia menyayanginya sebagai saudara.
Ketika pikirannya bimbang, ia meminta Irsyad untuk memberikan pendapat. Lalu dari Iryad ia mengetahui bahwa menjaga Aisyah tidak harus dengan menikahinya melainkan mencarikan jodoh yang baik yang dapat menjaga Aisyah dan keimanannya kepada Allah. Maka ia pun meminta Ihsan untuk mau menjadi pendamping Aisyah. Ihsan dan Aisyah pun akhirnya dijodohkan.
Setelah persoalan Aisyah telah selesai, ia pun semakin terdesak. Dia harus segera memilih diantara Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Belum selesai masalah itu, Iqbal diharuskan mencari mahar yang akan ia berikan kepada calon istrinya dan ia pun harus meminta restu kepada keluarganya.
Iqbal meminta pendapat kepada semua orang terdekatnya,Ayah, Ibu, orang tua angkatnya, Aisyah, Irsyad, Kiai Sepuh, dan teman-temannya. Akhirnya ia pun mendapat saran yang menjadi penerangnya siapa yang akan ia pilih nantinya. Atas saran Bu Jamilah, ibu yang banyak memberikan pelajaran kehidupan kepadanya seperti kemiskinan yang tidak membuatnya putus asa untuk jalani kehidupan karena keikhlasannya kepada Allah membuatnya mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah, insya Allah. Akhirnya Iqbal tahu sapa yang seharusnya ia jadikan istri. Dari ketigab gadis yang sangat istimewa tersebut, hanya Priscillia yang lebih membutuhkannya.
3
Karena ia tidak hanya membutuhkan suami tetapi ia juga membutuhkannya sebagai orang tua, saudara, sahabat, dan pembimbing imannya. Karena ia telah kehilangan kesemuanya itu karena keinginannya yang ingin meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Setelah tahu sapa yang akan ia nikahi maka Iqbal meminta restu kepada keluarganya. Tadinya ia menganggap bahwa kedatangannya ke keluarga non muslim itu akan ditolak mentah-mentah. Tetapi ternyata tidak. Mereka menerima Iqbal dengan sangat baik. Setelah membicarakan keinginannya untuk menikahi Priscillia, ia sempat ditanya oleh ayah Priscillia yaitu bolehkah seorang Kristiani seperti dia memasuki tempat orang muslim,menghadiri pernikahan anaknya dan dapat menjadi mertua Iqbal. Setelah mendapat penjelasan dari Iqbal maka orang tua Priscillia menyetujui pernikahan anaknya dengannya. Khaura menyetujui perjodohannya dengan pemuda yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Dan Zaenab pun tidak akan kesulitan mendapatkan pasangan hidup karena ia adalah gadis yang sangat mulia. Akhirnya Iqbal pun dapat menikah dengan Priscillia, dan Zaenab serta Khaura menerima keputusannya dengan ikhlas.
UNSUR INTRINSIK
1. Tema
Tema Novel Makrifat Cinta karya Tufiqurrahman al-Azizy adalah pencarian cinta religius yang bersumber pada cinta IlahTema tersebut diperjelas dengan kutipan,
… Dengan sepenuh sungguh,
aku bermohon petunjuk kepada Allah agar Dia berkenana
memberi jodoh yang tepat untukku. Dalam tidur yang kurang lebih setengah jam itu, aku belum mendapat firasat
apa-apa. Tanda-tanda cinta tak kunjung
datang jua. Hanya saja…, kudapati bahwa pikiran, perasaan, dan hatiku lebih tenang daripada sebelumnya.
Aku pasrahkan diri kepada kehendak Ilahi. Kehendak-Nya
adalah sebaik-baiknya kehendak bagi mahluknya.
(Makrifat Cinta,2007: 345-346)
2. Setting
Setting Novel Berjudul Makrifat Cinta Karya
Tufiqurrahman al-Azizy
1. Setting Tempat
Setting tempat dalam novel
ini adalah pesantren Tegal Jadin yang terdapat di wilayah Solo di daerah Tegal
Jadin.
Setting tersebut dapat
dilihat dalam kutipan,
Sebentar lagi
langkah-langkah kami akan segera sampai di petanahan
Tegal Jadin. Di sisi lain dari apa yang kugelisahkan sekarang ini, aku sangat senang dengan perjalanan yang aneh ini. Kurang lebih sejauh
(Makrifat Cinta,2007: 57)
…
“Kalau begitu, bisakah
kamu pulang sekarang?”
“Sekarang?”
“Ke Tegal Jadin.”
“Ke pesantren Kak Iqbal?”
“Ibu dan adikmu ada
disini.”
“Ada di situ? Teka-teki
apa ini yang tengah kudengar?”
“Ada deh. Ini teka-teki
cinta…”
(Makrifat Cinta,2007: 79)
Selain setting tempat di atas terdapat juga setting
tempat lain yaitu, kota Banjarnegara dan Salatiga. Selama tiga tahun aku
menapaki hidup di atas tanah-tanah Kota Banjarnegara, menghirup cinta dari
kegelisahan hati. Aku telah menjadi musafir, mengeja
kehidupan, dan mereguk anggur pengalaman…
(Makrifat Cinta,2007: 10)
Pagi telah merekah. Mentari bersinar demikian elok. Aku
baru saja selesai mandi. Lalu berganti pakaian. Dan
bersiap-siap hendak berangkat ke salatiga. Aku
ingin menemui Bu Jamilah, sebab dialah ibu satu-satunya yang belum kumintai saran dan pandapatnya.
(Makrifat Cinta,2007: 342)
2. Setting Waktu
Setting waktu dalam Novel
ini berada pada waktu pagi, siang, sore dan malam hari.
Hal ini diperjelas dengan
kutipan-kutipan sebagai berikut,
Jam 07.00 WIB.
Kiai Sepuh memanggilku.
Aku penuhi panggilan
beliau.
“Sudah kau dapat maharmu,
Bal…?”Tanya beliau.
“Sudah, Kiai….”
(Makrifat
Cinta,2007: 366)
Pukul 12.45 WIB.
Kami usai menjalankan
shalat jumat. Para sahabatku yang dari Banjarnegara menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan
sahabat-sahabat lamaku.
Mereka aktif berdiskusi,
Tanya jawab, soal-soal agama.
(Makrifat
Cinta,2007: 112)
Pukul 15.30 WIB.
Jenazah Kang Rahmat
dikubur.
(Makrifat
Cinta,2007: 127)
Pukul 23.00 WIB.
Aku menuju ke tempat
wudlu. Aku ingin menjalankan
ibadah malam, memohon petunjuk dan
pertolongan Allah SWT.
(Makrifat Cinta,2007: 342)
3. Setting Peristiwa
Setting peristiwa novel ini adalah,
- Perjalanan Iqbal menuju ke Tegal Jadin untuk menemui dan memilih ketiga gadis yang dicintainya untuk menjadi istrinya.mereka adalah Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Serta memenuhi janjinya kepada Kiai Sepuh.
Diperjelas dengan kutipan,
Aku menghela nafas syukur. Kuhela pelan. Kutiupkan pelan. Kumelihat jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum jam menunjuk angka setengah sepuluh. Mobil terus melaju. Kota Banjarnegara telah jauh di belakang. Tegal jadin masih jauh. Masih berjam-jam lagi harus ditempuh.
(Makrifat Cinta, 2007: 13)
- Kebingungan Iqbal untuk memilih siapa yang menjadi kekasih hatinya, siapa yang akan ia cintai dan nikahi antara Zaenab, Priscillia, dan Khaura.
Hal ini diperjelas dengan kutipan,
Tetapi, siapakah kekasihku? Siapakah cintaku?
Apakah dia yang aku cinta selama ini
telah merangkai bunga-bunga rindu dihatinya, yang kelopaknya menebarkan keharuman aroma cintaku? Siapakah dia
adanya? Betulkah Zaenab? Atau dia adalah
Priscillia? Kemana Khaura? Apakah aku bisa mencintai ketiga gadis itu secara sekaligus tanpa mengurangi
atau melebihkan rasa cintaku antara satu dengan
yang lain?! Jika memang aku mencintai mereka, benarkah mereka akan mencintaiku pula?
Lalu, atas dasar apa aku
mencintai mereka dan mereka menanamkan benih cintanya
kepadaku?
(Makrifat Cinta,2007: 56)
- Wasiat
cinta dan kematian Kang Rakhmat.
Dapat dilihat dalam
kutipan,
“…. Aku titip
Aisyah kepadamu. Jagalah dia
dengan sepenuh hatimu. Tunjukkanlah
dia bagaimana lezatnya cinta kepada Allah kita, Akh. Maukah engkau melakukan permohonanku ini?”
“Insya Allah,
Kang. Insya Allah….”
(Makrifat
Cinta,2007: 123)
Jerit tangis
Aisyah menyadarkankanku dari dekapanku kepada kang Rakhmat. Pelan-pelan, kubuka kedua mataku. Pelan-pelan, baru kusadari dan kurasakan batapa dinginnya tubuh Kang
Rahmat.
Kang rakhmat meninggal di pelukanku….
(Makrifat Cinta,2007: 126)
- Iqbal Memilih Priscillia sebagai
Istrinya. Walaupun
Priscilllia berasal dari keluarga non muslim.
Dapat dilihat dari
kutipan,
“Apakah boleh
dalam agama Anda, seorang suami yang memiliki mertua beda agama?”
“Apakah itu menjadi persoalan buat bapak
sekeluarga.”
“Tidak.”
“Saya juga
tidak ada persoalan, jika memang bapak dan keluarga menerima saya sebagai menantu dengan segenap perbedaan keyakinan
saya dan Lia terhadap Bapak, Ibu
dan Adik….”
(Makrifat Cinta,2007: 372)
- Iqbal menikah dengan Priscillia.
Setting peristiwa ini
diperjelas dengan kutipan,
Kemudian aku,
melangkah pelan menuju meja akad. Bersamaan denganku,
Priscillia pun maju. Batas agama Islam akhirnya tidak bisa dilanggar dalam prosesi pernikahan ini.
Lia tidak menjadikan ayahnya sebagai wali nikah.
Kutoleh kedua orang tuanya. Air mata
mengucur deras di pipi ibunya. Lia maju dengan bersendiri.
(Makrifat Cinta,2007: 382)
3. Alur atau Plot
Alur novel ini adalah alur sorot balik
Diperjelas dengan kutipan,
“Masih
ingatkah engkau bagaimana Kang Rakhmat memimpin para sahabat mengarak-arakmu, mencaci-makimu, dan… memukulimu,
beberapa tahun yang silam? Masih
ingatkah engkau akan syahadah cintamu yang telah mengakibatkan penderitaan yang terjadi pada dirimu?”
(Makrifat
Cinta,2007: 87)
Novel ini memiliki alur
sorot balik karena novel ini menceritakan tentang bagaimana Iqbal memilih dan mendapatkan gadis yang
tepat untuk ia jadikan istrinya. Selama
penulis mengungkapkan cerita ini, alur yang digambarkan dalam setiap peristiwa-peristiwa yang menjalin
ceritanya terus berkembang. Dalam berkembangnya
cerita penulis pun mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Pernyataan ini pun diperkuat dengan kutipan,
Aku juga berdiri, tetapi hampir saja aku ambruk.
Baju yang dikenakan
Priscillia itu, adalah baju yang dia kenakan ketika dia kudapati pingsan didekapanku, tiga tahun yang lalu. Juga
kerudung itu. Air mataku menetes, dan segera kuusap sebelum para sahabat memergokiku.
(Makrifat
Cinta,2007: 381)
Tahapan alur novel ini menurut
Burhan Nurgiyanto dapat dirinci sebagai berikut,
- Tahap situation (tahap penyituasian)
Tahap ini adalah tahap yang paling utama yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.
Dalam novel ini tahap penyituasian bertumpu pada tokoh yang nantinya akan menjadi penentu jalan cerita serta situasi atau kejadian apa yang akan dialami tokoh utama selanjutnya.
Pernyataan ini diperjelas dengan kutipan,
Hari-hariku kembali cerah, tetapi hari ini adalah hari yang paling cerah. Seperti sepasang bangau yang terbang mengepak sayap-sayapnya itu, melintas di atas persawahan menuju satu titik impian. Dan aku pun akan segera menuju impianku, mewujudkannya menjadi bagian dari hari-hariku di kemudian. Terbayang di pelupuk mataku, wajah ayu Zaenab, Khaura dan Priscillia. Oh, seandainya saja cintaku diterima mereka semua, betapa indah dunia.
(Makrifat Cinta,2007: 9)
- Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)
Tahap ini adalah tahap pemunculan konflik.
Pemunculan konflik novel
ini terlihat pada saat Kang Rakhmat meninggal akibat rasa penyesalannya kepada Iqbal. Lalu sebelum meninggal Kang
Rakhmat memberikan wasiat cinta
dengan menjaga Aisyah.
Diperjelas dengan kutipan,
“…. Aku titip
Aisyah kepadamu. Jagalah dia dengan sepenuh hatimu. Tunjukkanlah dia bagaimana lezatnya cinta kepada Allah kita,
Akh. Maukah engkau melakukan
permohonanku ini?”
“Insya Allah,
Kang. Insya Allah….”
(Makrifat Cinta,2007: 123)
- Tahap
rising action (tahap peningkatan konflik)
Tahap ini adalah tahap
meningkatnya konflik. Konflik semakin berkembang, mencengkam dan menegangkan.
Dalam novel ini konflik
bekembang saat Iqbal mengalami kebingungan untuk memilih siapa dari ketiga gadis yang dicintainya untuk ia
pilih menjadi istrinya tetapi
juga ia harus mewujudkan wasiat cinta yang diberikan Kang Rakhmat kepadanya. Apakah Iqbal harus menikahi Aisyah yang telah
dianggapnya sebagai saudara
atau tiga gadis yang dicintainya, yaitu Zaenab, Khaura dan Priscillia. Atau ia harus menikahi keempatnya.
Diperjelas dengan kutipan,
“Lalu
bagaimana dengan cintaku kepada Zaenab? Kepada Priscillia? Kepada Khaura? Ya Allah…, kenapa
urusanku menjadi demikian rumit ini?”
Aku putus asa. Tepatnya, hampir berputus asa. Tak
kubayangkan sebelumnya bahwa aku
akan menemui kerumitan cinta seperti ini. T’lah kubayangkan bahwa aku bersanding secepatnya dengan dia
yang memang kucintai dari dasar lubuk hatiku.
Dan tak kubayangkan bahwa aku akan menikahi seorang gadis yang dia adalah putrid kiai tetapi atas dasar
wasiat cinta.
(Makrifat Cinta,2007: 202-203)
- Tahap klimaks (tahap klimaks)
Tahap ini adalah tahap
terjadinya konflik dengan pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau
ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita
terjadinya konflik utama.
Dalam
novel ini dapat dilihat bahwa konflik terjadi ketika Iqbal, tokoh utama telah didesak oleh Kiai Sepuh untuk
memilih siapa yang akan dijadikannya sebagai
seorang istri. Ia pun semakin bingung dan sulit untuk memilih ketiga gadis yang dicintainya yang merupakan
gadis-gadis yang mulia.
Dengan
kutipan,
Bila
Kiai Sepuh mengatakan bahwa aku memendam keraguan, maka inilah yang memang tengah kurasakan sekarang.
O,
betapa memalukannya aku ini setelah
sekian lama merasa seakan-akan bisa dengan
mudah mendapatkan pasangan hidup. Tetapi hari ini mataku baru terbuka bahwa tidak mudah mendapatkan pasangan hidup itu. Sebelumnya,
aku membayangkan bahwa aku ke sini
hanya untuk menjemput Zaenab, Priscillia,
dan Khaura, lalu mereka kunikahi. Dan… aku melamar mereka. Dan aku
hidup berumah tangga dengan mereka.
(Makrifat Cinta,2007: 248)
- Tahap denouement (tahap penyelesaian)
Tahap ini adalah tahap dimana konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.
Setelah terjadi klimaks yang dialami oleh Iqbal, maka ia pun mendapat pemecahan masalah dari bu Jamilah. Bu Jamilah memberikan saran kepadanya untuk memilih Priscillia. Karena Priscillia lebih membutuhkannya selain sebagai suami ia butuh seseorang sebagai ayah, sahabat, saudara serta guru yang akan bisa membimbingnya menuju keimanan dan keyakinannya kepada Allah SWT. Dan akhirnya Iqbal pun menikah dengan Priscillia. Kisah ini berakhir Happy Ending.
Dijelaskan dalam kutipan,
…. Tetapi Lia
adalah Lia, dan Lia adalah seorang gadis. Dia tidak hanya membutuhkanmu sebagai seorang muslim yang
dapat dijadikan sahabat dalam keimanan
dan keyakinan kepada Allah SWT. Dia membutuhkanmu sebagai pembimbing, cahaya yang akan menerangi
hidupnya, kekuatan yang akan menguatkan
jiwanya yang rapuh.
Oh, andaikan Ibu adalah
seorang pemuda lajang, Ibu akan menengadahkan kedua tangan Ibu supaya Ibu bisa menikahi Lia. Menikah tidak
hanya membentuk mahligai rumah
tangga, Nak. Menikah berarti juga menjalankan dakwah, menyeru kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam hal yang
demikian, Lia lebih membutuhkanmu ketimbang Zaenab dan
Khaura.
(Makrifat Cinta,2007: 350-351)
4. Penokohan dan Perwatakan
A. Tokoh Utama
Tokoh utama novel ini adalah
- Iqbal
Maulana,
- Zaenab,
- Priscillia,
dan
- Khaura.
Terdapat dalam kutipan,
Oleh karena itu, duh Iqbal….
Bila engkau tertarik pada seorang gadis, entah kepada Zaenab, Priscillia, atau Khaura maka itu adalah hal yang wajar. Engkau terbayang wajah mereka. Engkau merindui mereka….
(Makrifat Cinta,2007: 295)
b. Tokoh Pembantu
- Irsyad -Firman - Fatimah
- Aisyah - Indri - Dawam
- Kiai Sepuh - Okta - Amin
- Kiai Subadar -
Parno - Bapak Ignatius Dibyo Pratisto
- Ayah Iqbal - Patmo - Ibu Maria
- Ibu Iqbal - Surya - Adik Priscillia
- Pak Burhan -
Kang Rakhmat
- Bu Laela -
Kang Rusli
- Bu Jamilah -
Ihsan
B. Perwatakan
1. Tokoh Utama
- Iqbal
Maulana
Wataknya : Soleh, sopan, suka menolong, rendah hati, dan selalu dilanda kebingungan menentukan siapa cintanya.
Kutipan,
Aduhai, Priscillia….
Aku sungguh malu kepada Allah dan kepada dirimu. Aku malu kepadamu sebab aku masih dipusingkan oleh urusan cinta birahi ini, sedangkan engkau tengah memasuki lautan cinta Ilahi.
(Makrifat Cinta,2007: 354)
- Zaenab
Wataknya : Nak Zaenab itu gadis yang baik, memiliki wawasan dan ilmu agama yang luas, akhlaknya baik, tutur katanya lembut dan sopan.
Dengan kutipan,
“Marilah saya ajak Nak
Iqbal untuk merenungkan: Nak Zaenab itu gadis yang
baik. Lia dan Khaura juga demikian. Ibu sudah senpat bercakap-cakap banyak kepada masing-masing mereka,
bertanya tentang keluarga dan sebagainya. Zaenab
itu berasal dari keluarga yang baik. Ayahnya memiliki garis nasab dengan ulama yang menyebarkan Islam di
tanah Jawa. Dia masih keturunan ulama besar. Dia
berasal dari Jawa Timur. Dari sejak kecil, dia hidup dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Pesantren Tegal Jadin
adalah tempat persinggahan terakhirnya.
Nak Iqbal bisa bayangkan, gadis seperti itu tentu memiliki wawasan dan ilmu agama yang luas. Akhlaknya baik.
Tutur katanya lembut dan sopan. Senyumnya
memikat. Wajahnya yang cantik. Pendeknya, dia adalah gadis yang sempurna.
Kecantikannya luar-dalam.”
(Makrifat
Cinta,2007: 348)
- Khaura
Wataknya
: Khaura adalah gadis yang lugu. Dia adalah gadis yang termuda diantara Zaenab dan Lia. Dia jujur,
polos, memiliki keinginan kuat untuk mempraktikkan
ajaran-ajaran Allah, memiliki prinsip
dan pendirian yang kuat pula, dia
tegas, dan pemberani.
Kutipannya,
Lalu tentang
Khaura, Bu Jamilah berkata:
“Khaura adalah gadis yang
lugu. Dia adalah gadis yang termuda diantara Zaenab dan Lia. Dia
jujur. Polos. Memiliki keinginan kuat untuk mempraktikkan ajaran- ajaran Allah. Memiliki prinsit dan
pendirian yang kuat pula. Dia tegas. Dia pemberani.
Salah satu buktinya adalah dia menolak untuk dijodohkan oleh orang tuanya.”
(Makrifat Cinta,2007: 348)
- Priscillia
Wataknya : tegas, teguh akan keyakinan, berani memutuskan untuk menjadi mualaf, muslimah yang soleh dan berakhlak mulia.
Dengan kutipan,
Demi kerudungmu, engkau jaga keyakinanmu. Demi jilbabmu, engkau kesampingkan hasrat rindu dan cintamu kepada orang tua dan saudaramu. Demi keyakinanmu, engkau tinggalkan sahabat-sahabat dan kuliahmu. Demi Islam, engkau barada disini.
Oh, Lia…
(Makrifat
Cinta,2007:309)
2. Tokoh Tambahan
- Irsyad
Wataknya : Bijaksana,
soleh, memiliki hati yang mulia, sopan, cerdas dan arif.
Kutipannya,
…. Setelah beberapa hari aku dilanda gelisah dan kebingungan tantang wasiat cinta, kini, berkat tutur kearifan Irsyad, aku Insya Allah akan tetap bisa melaksanakan wasiat Kang Rakhmat, tetapi sekaligus tidak memaksa diriku untuk mengubah rasa cintaku kepada Aisyah….
(Makrifat Cinta, 2007: 221)
- Aisyah
Wataknya : Gadis yang
soleh dan memegang teguh cintanya.
Kutipannya,
Karena apalagi? Karena
cinta? Lupakanlah kita bahwa kita saling mencinta? Aku adikmu dan engkau kakakku? Cintaku sebagai seorang gadis adalah
untuk Kang Rakhmat….
(Makrifat Cinta,2007: 202)
- Bu Jamilah dan bu Laela
Wataknya : Kedua ibu ini memiliki sifat keibu-ibuan yang tinggi, bijaksana, penyayang. Yang membedakan keduanya adalah kebesaran hati Bu Jamilah yang telah menjalani tempahan hidup membuatnya lebih memiliki kebesaran hati.
Kutipan,
Bu Jamilah dan Bu Laela saling berpelukan, saling mencium pipi kiri- kanan. Allahu akbar. Kurasakan energi agung memenuhi ruangan yang sempit ini, tatkala dua sosok ibu yang memiliki derajat tinggi sebagai muslimah bertemu dalam rangkulan dan ciuman sepenuh kasih. Hilanglah sudah batasan bahwa Bu Laela barasal dari keluarga yang kaya, sedangkan Bu Jamilah berasal dari keluarga yang miskin.
(Makrifat Cinta, 2007: 48)
- Pak Burhan
Wataknya : bijaksana, baik
hati dan penyayang.
Kutipan,
Pak Burhan
tertawa,”Sedikit membantu pemerintah Wonosobo kan nggak apa- apa?
“Bapak memang orang yang
baik. Tak peduli apakah Pemerintah Wonosobo akan membantu Bapak atau tidak….”
(Makrifat Cinta,2007: 15)
- Ayah dan Ibu Iqbal
Wataknya : Menyayangi Iqbal dan memiliki sikap bijaksana.
Kutipan,
Kucium kening Ibu.
Ayah mencium keningku.
Menatapku, Ibu berlinangan air mata. Api rindu berkobar-kobar di dadaku kepada ibu, kini telah padam sudah. Aku bahagia melihat ibuku kembali. Juga melihat ayahku.
(Makrifat Cinta,2007:114)
- Kiai Subadar
Wataknya : seorang guru dan ayah yang bijaksana
Kutipannya,
Dalam hal menikah, walau kiai sudadar adalah seorang kiai. Beliau menyerahkan masalah ini sepenuhnya kepada putrinya.
(Makrifat Cinta,2007: 253)
- Kiai Sepuh
Wataknya
: guru yang baik dan bijaksana
Kutipannya,
Anakku…
Seseorang
tidak akan mampu menggapai dan mencapai kecintaan Allah terkecuali ia mampu untuk melatih dirinya sendiri dengan
mengekang hawa nafsunya. Seseorang
telah berkata,”mengekang hawa nafsu adalah memuliakannya. Melampiaskannya menurut kemauannya adalah
kehinaan abadi.
(Makrifat Cinta,2007: 293)
- Firman,
Indri, Okta, Parno, Patmo, Surya
Wataknya : Mereka adalah
sahabat-sahabat Iqbal yang tergabung dalam Ashabul Kahfi. Mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk memperbaiki kesalahan
dan dosa-dosa yang pernah mereka lakukan
dengan meningkatkan keimanan kepada Allah
SWT.
Kutipan,
… Cukuplah aku bahagia
melihat sahabat-sahabatku mendapatkan cahaya-Nya kembali setelah sekian lama lilin suci hati tidak menyala…
(Makrifat Cinta,2007: 13)
- Dawam,
Kang Rusli, Amin, dan Ikhsan
Wataknya : Mereka adalah
sahabat-sahabat iqbal yang soleh dan merupakan santri di pesantren Tegal Jadin. Mereka memiliki keinginan yang
tinggi untuk belajar.
Kutipan,
Inilah saat bagiku untuk
bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di pesantren
ini. Inilah saatnya aku bersua dengan Kang Rakhmat, Dawam, Kang Rusli, dan Amin….
(Makrifat
Cinta,2007: 63)
…. Mereka mengangkat bahu. Mereka menyerahkan
jawaban sepenuhnya kepada Allah. Dan mereka
tetap pada pendirian mereka.
Mereka tidak mau
menziarahi makam Kang Rakhmat. Mereka melakukan ini dengan alasan ingin menghindari bid’ah dalam agama….
(Makrifat Cinta,2007: 141)
- Fatimah
Wataknya : Gadis kecil
yang lucu, sopan dan soleha.
Segara kukenalkan Fatimah kepada Bu Laela dan Pak Burhan. Fatimah menyalami mereka, bergantian. Tak lupa, dia mencium tangan Pak Burhan dan Bu Laela. Dan baru kusadari bahwa Bu Laela pun menitikkan air mata.
(Makrifat Cinta,2007: 42)
- Kang Rakhmat
Wataknya : Baik hati ,
beriman dan mudah menyesali perbuatannya.
Ketika dia telah bisa menguasai dirinya
kembali, dia lalu berkata,”Kematian
memang menyedihkan. Tetapi, kematian Kang Rakhmat itu adalah kenyataan yang mengembirakan. Dunia harus berduka
dengan kematiannya, sebab orang baik
seperti dia sesungguhnya lebih berhak menghuni muka
bumi ini daripada para bajingan tengik, tukang pembuat kerusakan, koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan
setan-setan lainnya yang berwajahkan manusia!
Bagi penduduk bumi, kematian orang seperti Kang Rakhmat memang merupakan suatu kehilangan yang
menyakitkan. Tetapi, bagi Kang Rakhmat sendiri,
kematiannya adalah pintu kebahagiaan yang kekal di sisi Allah.
(Makrifat Cinta,2007: 156)
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang dipakai
dalam novel ini yaitu sudut pandang persona pertama
Yaitu “Aku”.
Diperjelas dalam kutipan,
Aku masih
diam, sebab aku masih takut. Dan karena aku dihantui oleh ketakutan-ketakutan yang seperti itu,
hampir saja aku lupa dengan apa yang dikatakan
Irsyat dan beberapa sahabat. Juga hampir lupa dengan perkataan Ayah, bahwa cinta membutuhkan pengakuan. Alam meletakkan kecenderungan kepada laki-laki untuk melahirkan perasaan cintanya
kepada perempuan. Aku hampir lupa
bahwa aku balum menyatakan perasaan cintaku kepada mereka.
(Makrifat
Cinta,2007: 301)
pengertian sudut pandang
persona pertama adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita, ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan. Serta
sikapnya terhadap orang lain (tokoh)
kepada pembaca (Nurgiyanto, 2007:262)
seperti halnya pengertian di
atas, novel ini melukiskan tokoh yang bernama Iqbal Maulana dengan gaya “Aku”. Di sini tokoh ini dapat merasakan semua
hal yang dialaminya dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi serta
tokoh-tokoh yang berinteraksi dengannya.
Dilihat dalam kutipan,
Akankah
kunikahi Aisyah tanpa ada rasa cinta di hatiku, demi dan hanya demi memenuhi wasiat Kang Rakhmat? Benar-benar berdosakah aku apabila tidak kupenuhi wasiat tersebut?
(Makrifat
Cinta,2007: 209
6. Gaya
- Personifikasi
Personifikasi adalah
Kepulan asap bergulung-gulung di atas wuwungan, bau bata yang terbakar, dan sebuah gubuk tua berdiri sunyi di antara hija-ranau padi. (Makrifat Cinta,2007: 9)
- Metafora
Metafora adalah
Dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan,
Kumasukkan air suci yang mensucikan ini pada hidungku, hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma surga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di singgasana-Nya. (Makrifat Cinta,2007:211)
- Alegori
Denting-denting waktu bagai dawai gitar yang dipetik dalam irama konstan dan terus berpacu. (Makrifat Cinta,2007:197)
Dalam novel ini dapat
dilihat dalam kutipan
Khilaf itu ibarat debu yang menempel di kesucian cermin jiwamu. Itu hanya debu. Setitik debu. (Makrifat Cinta,2007: 100)
- Hiperbola
Dalam novel ini terdapat pada kutipan,
Sekarang rasa itu semakin menguat-menumpuk menggumpal di dasar lubuk hatiku. (Makrifat Cinta,2007: 221)
Tulisan itu seolah-olah menatapku tajam, menusuk mataku, membelit akalku, menukik dan menghunjam di hatiku. (Makrifat Cinta,2007: 209)
- Litotes
Oh, Priscillia, aku jika dibandingkan dirimu tidak sebanding. Aku bukan apa-apa bagi keluhuran dan kesucian jiwaku. Engkau telah menjadikan cinta kepada Allah di atas segalanya. (Makrifat Cinta,2007: 354)
- Repetisi
Gaya bahasa ini merupakan
pengulangan kata beberapa kali dalam kalimat.
Dalam novel ini dapat
dilihat dalam kutipan
Tetapi akalku mengalami kegelapan. Hatiku terseret kegelapan.
Bahkan, tiba-tiba dunia menjadi gelap di
mataku. Batinku menjerit keras. Keras sekali. Hatiku berteriak kencang. Kencang sekali. (Makrifat Cinta,2007:
302)
Zaenab tersenyum padaku
Priscillia tersenyum
padaku
Khaura tersenyum padaku
(Makrifat Cinta,2007:304)
- Paralelisme
Gaya
bahasa ini sama seperti gaya bahasa repitisi tetapi hanya terdapat dalam puisi.
Kutipan dalam novel ini adalah,
Biarkan hatiku mabuk cinta.
Jangan
kau cela ia jika tampak lalai
Biarkan hatiku
Andai
kau tahu bagaimana cinta itu menggodaku
Kekasihku
adalah Tuhan Yang Maha Akhir dan Maha Awal
Biarkan hatiku…
Inilah
cintaku,
Kupersembahkan
kepada Dzat yang selalu memberi dan tak pernah meminta.
….
(Makrifat Cinta, 2007: 374-375)
- Asosiasi
Dalam kutipan,
Astaga, cintaku…
Sembunyikanlah gairahmu;
Penyakitmu adalah juga obatmu sebab
Cinta bagi jiwa adalah ibarat anggur dalam gelas
yang engkau lihat adalah
cairannya, yang
tersembunyi adalah rohnya.
(Makrifat
Cinta, 2007: 269)
7. Amanat
Amanat novel ini adalah sebagai manusia kita
harus,
- Selalu
berupaya untuk memperbaiki kualitas hidup; yang kaya menggunakan sayap
syukur untuk mencapai ridha Allah, sedang yang miskin terbang bersama
sayap syukur mencapai cinta-Nya.
Dijelaskan dalam kutipan,
….
Berkat mereka aku menyadari betapa uang dan materi
hanyalah sesuatu yang sirna. Tak
pernah mengabadi. Akan musnah. Akan lenyap. Uang dan materi hanyalah alat untuk hidup, bukan tujuan
hidup. Hidup terlalu naïf bila digantungkan
pada uang dan materi. Ada dan tidak adanya uang dan materi sama saja. Kalau ada alhamdulillah, tidak
ada alhamdulillah. Inilah hakikat ikhlas dan betapa
besarnya pahala ikhlas itu disisi Allah SWT.
(Makrifat Cinta,2007: 36)
- Untuk menjadi baik, tidak ada jalan kecuali merevolusi diri dan memegang teguh kebaikan.
Dilihat dalam kutipan,
“Tidak Kang.
Engkau tidak menyekutukan Allah. Engkau pun tidak membunuhku. Itu hanya kekhilafan yang amat kecil bagi
pengetahuan dan keilmuanmu.
Itu hanyalah kesalahan
kecil bagi kemuliaan dan keluhuran akhlakmu.Derita
yang telah engkau sandang
sepanjang tiga tahun ini, sebagai bentuk sesalmu,
menunjukkan betapa tingginya kedudukanmu di hadapan manusia.
(Makrifat Cinta, 2007: 99)
- Untuk menjadi benar, tidak ada jalan lain kecuali berupaya meningkatkan derajat pemahaman akan nilai-nilai kebenaran.
Dijelaskan dalam kutipan,
Terhadap Rusli, Parno berkata,”Mas, mohon maaf , saya ini orang yang tidak beragama. Saya baru berusaha belajar beragama. Otak saya akhir-akhir ini selalu gelisah akan kebenaran agama yang aku anut selama ini. Jadi, jika ada perkataan aku yang salah, tolong diingetin dan tolong diluruskan. Boleh nggak aku bertanya?”
(Makrifat Cinta,2007: 137)
- Kenikmatan dan kelezatan hidup di dunia ini hanya akan terjadi tatkala cinta telah disandarkan secara total kepada Allah.
Kutipannya,
Bila cinta sejati yang selalu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya semata telah bersemayam di hati seorang hamba, maka kecintaan tersebut akan dapat menyempurnakan perbuatannya yang penuh dengan kekurangan, serta mengantarkannya kepada drajat yang tinggi di sisi Allah.
(Makrifat Cinta,2007: 353)