Senin, 09 November 2020

Puisi tentang Corona

Puisi awal untuk materi belajar pertama di masa pandemi covid 19 tanggal 8 April 2020



Minggu, 08 November 2020

Gaya Bahasa dan contohnya

Assalamuallaikum., Wr.,Wb.,

Di dalam karya sastra tentunya terdapat gaya bahasa yang sangat menarik yang dituangkan dalam goresan penanya si penulis. berikut adalah contoh-contoh gaya bahasa yang sering kita temui dalam karya sastra. 

Gaya Bahasa (Majas) perbandingan

Majas perbandingan adalah majas yang menyatakan perbandingan. Perbandingan tersebut diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda terganting dengan bahasa yang digunakan.

Majas perbandingan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:

1. Majas Personifikasi

Majas personifikasi yang seolah-olah menjadikan benda mati seolah-olah makhluk hidup. Contohnya:

  • Ia membiarkan pulpen itu menari-nari di atas kertas untuk menghasilkan tulisan mengagumkan.

    Penjelasan: Pulpen di personifikasikan seperti manusia yang mampu menari, padahal tidak
  • Daun yang tertiup angin berjoget layaknya tidak memiliki masalah.

    Penjelasan: Daun di personifikasikan seperti manusia yang mampu berjoget, padahal tidak

2. Majas Tropen

Majas tropen merupakan majas yang menggunakan kata-kata uang tepat atau sejajar untuk mengambarkan kondisi atau pengertian tertentu. Contohnya:

  • Andini telah terbang menggunakan pesawat Sriwijaya, maka jangan kau hanyut dalam kesedihan berkepanjangan.

    Penjelasan: Perbandingan yang diutarakan dalam kalimat tersebut adalah jangan sedih yang berkepanjangan karena Andini telah pergi juga.

3. Majas metafora

Majas metafora merupakan majas yang menggunaan suatu benda atau objeck untuk menggambarkan sifat yang ingin diutarakan. Contohnya:

  • Meskipun Nina adalah anak emas, dia tidak pernah manja pada orang tuanya.

    Penjelasan: Anak emas berarti anak kesayangan, bukan anak yang terbuat dari emas.
  • Warga yang ketahuan mencuri akan menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya.

    Penjelasan: Buah bibr berarti bahan pembicaraan, bukan buah yang berbentuk bibir.

4. Majas Asosiasi

Majas asosiasi merupakan majas yang digunakan untuk membandingkan dua objek berbeda yang dianggap sama, biasanya ditandai dengan penggunaan kata bagaikan, seperti ataupun bak. Contohnya:

  • Wajah kedua orang itu sangat mirip bak pinang dibelah dua.

    Penjelasan: Wajah kedua orang tersebut karena kembar diibaratkan oleh buah pinang yang dibelah dua.
  • Teman-teman Rina bosan jika ia berpendirian bagai air di daun talas.

    Penjelasan: Berpendirian yang berubah-ubah diibaratkan seperti air di daun talas.

5. Majas Hiperbola

Majas hiperbola merupakan majas yang mengungkapkan sesuatu dengan cara melebih-lebihkan hal tersebut, terkadang perbandingan yang duat terasa tidak masuk akal. Contohnya:

  • Ayah bekerja siang malam membanting tulang tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri.

    Penjelasan: bekerja membanting tulang maksudnya bekerja dengan keras
  • Suaranya ketika menyanyi membuat hancur seisi dunia.

    Penjelasan: suaranya sangat buruk seakan menghancurkan seisi dunia

6. Majas Eufemisme

Majas eufemisme merupakan majas yang menggunakan kata sopan atau sepadan yang lebih halus untuk mengganti kata yang kurang etis. Contohnya:

  • Penderita difabel tetap bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dibantu oleh dosen khusus.

    Penjelasan : kata difabel digunakan untuk mengganti kata cacat.
  • Penyandang tuna rungu bisa mengakses layanan perpustakaan kampus.

    Penjelasan: Tuna rungu digunakan untuk mengantikan kata tuli.

Gaya bahasa (majas) Pertentangan

Majas pertentangan merupakan majas yang menggunakan kata kiasan bertentangan dengan fakta sesungguhnya.

Majas pertentangan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:

1. Majas paradoks

Majas paradoks merupakan majas yang membandingkan situasi sebenarnya dengan kebalikannya. Contoh:

  • Lila merasa kesepian di tengah keramaian.
    Penjelasan: keadaan sepi bertentangan dengan keramaian
  • Badannya itu kecil, tapi dia sangat kuat
    Penjelasan: tubuh yang kecil berbanding terbalik dengan kekuatan

2. Majas Litotes

Majas litotes digunakan untuk merendahkan diri, meskipun keadaan sebenarnya lebih bagus dari apa yang diungkapkan. COntoh

  • Kapan-kapan jika pergi ke Bogor, saya harap Anda mau mampir ke gubuk kami.

    Penjelasan: Gubuk yang dimaksud adalah rumah yang megah
  • Selamat menikmati hidangan ala kadarnya ini!

    Penjelasan: Makanan ala kadarnya di sini adalah makanan yang lengkap lauk, pauk dan sayur.

3. Majas antitesis

Majas antitesis merupakan majas yang menggabungkan kata yang saling bertentangan. Contohnya:

  • Baik buruk perbuatannya akan mendapatkan balasan suatu saat nanti.

    Penjelasan: Baik dan buruk kata yang bertentangan dan disandingkan menjadi satu
  • Jangan pernah menilai seseorang hanya melihat benar salah perbuatannya.

    Penjelasan: benar dan salah kata yang bertentangan dan disandingkan menjadi satu

Gaya bahasa (majas) sindirian

Majas sindiran merupakan majas yang menggunakan kata kiasan untuk mengungkapkan sindiran kepada sesuatu atau seseorang.

Majas sindiran dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:

1. Majas Ironi

Majas ironi merupakan majas yang menggunakan ungkapan bertentangan dengan fakta, biasanya majas ini seakan-akan memberi pujian tetapi sebenarnya merupakan suatu sindiran. Contohnya:

  • Rajin sekali, jam dua belas baru bangun.

    Penjelasan: Jelas-jelas jam 12 sudah siang, tetapi diungkapkan dengan kata rajin
  • Sudah berapa hari tidak mandi? Kok badanmu sangat harum.

    Penjelasan: Tidak mandi tetapi badannya sangat harum, padahal jika tidak mandi berbau busuk

2. Majas Sinisme

Majas sinisme adalah majas yang menyampaikan sindiran secara langsung pada objek yang dimaksud. Contohnya:

  • Gulingmu sangat bau, seperti tidak pernah dicuci.
    Penjelasan: Secara langsung menjelaskan keadaan sebenarnya
  • Badannya gemuk sekali seperti orang yang kelebihan gizi.
    Penjelasan: Secara langsung menjelaskan keadaan sebenarnya

3. Majas Sarkasme

Majas sarkasme adalah majas sindirian yang menggunakan ungkapan atau kata kasar. Penggunaan majas ini bisa saja melukai perasaan orang yang sedang mendengarnya. Contohnya:

  • Pergi dari sini! Kamu hanyalah sampah masyarakat yang harus dimusnahkan dari muka bumi ini.

    Penjelasan: Penggunaan sampah mesyarakat merupakan kata sarkas untuk menggambarkan orang yang sangat bodoh.
  • Kau ini benar-benar otak udang!

    Penjelasan: Penggunaan otak udang merupakan kata sarkas untuk menggambarkan orang yang sangat bodoh.

Gaya bahasa (majas) penegasan

Majas pertentangan merupakan majas yang menggunakan kata kiasan untuk meningkatkan pengaruh kepada pembacanya supaya menyetujui sebuah ujaran, atau kejadian.

Majas penegasan dapat dikembangkan lagi menjadi majas-majas berikut ini:

1. Gaya bahasa atau majas Pleonasme

Majas pleonasme merupakan majas yang menggunakan kata bermakna sama untuk menegaskan sesuatu. contohnya:

  • Majulah ke depan agar orang-orang bisa menyaksikan penampilanmu.
  • Turunkan tangan ke bawah setelah menjawab soal yang diberikan guru.

2. Majas Repetisi

Majas repetisi adalah majas yang menggunakan kata berulang pada kalimat. contohnya:

  • Dia adalah penyebabnya, dia si perusak barang, dia yang membuat kotak ini rusak.
  • Saya ingin menjadi lebih baik, saya ingin membanggakan orang tua, saya ingin membuat mereka bahagia.

3. Majas klimaks

Majas Klimaks adalah majas yang digunakan untuk mengurutkan gagasan dari yang terendah sampai tertinggi. Contohnya:

  • Bayi, anak kecil, remaja, orang dewasa hingga orang tua sekarang diwajibkan memiliki Kartu Tanda Penduduk.
  • Uang ratusan rupiah pun saya tidak punya, apalagi ribuan, jutaan, milyaran, triliunan.

4. Majas antiklimaks

Berkebalikan dengan majas klimaks. Majas antiklimaks adalah majas mengurutkan gagasan dari tinggi ke rendah. Contohnya:

  • Kini kekeringan melanda rata di seluruh perkotaan, pedesaan hingga pegunungan.
  • Jangankan satu juta rupiah, seratus ribu rupiah, sepuluh ribu rupiah bahkan seratus rupiah pun saya tidak punya.

 

MENGANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK ROBOHNYA SURAU KAMI

 

                                                            ROBOHNYA SURAU KAMI

SINOPSIS :

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.

Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang kerap disapa Kakek itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.

Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin beribadah menyembah Tuhan. Ia begitu yakin ia akan masuk ke surga. Namun Tuhan Maha Tau dan Maha Adil, Haji Saleh yang begitu rajin beribadah di masukan ke dalamma neraka. Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk neraka, karena itu ia bersembahyang. Tapi ia melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan anak isterinya, sehingga mereka kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis. Padahal di dunia ini kita berkaum, bersaudara semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu sedikit pun. Crita ini yang membuat kakek tersindir dan merasa dirinya murung.

Kakek  memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

 

 

UNSUR INTRINSIK :

 

• Tema            :Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

• Amanat        : 1) jangan cepat marah kalau diejek orang,

2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,

3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,

4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan

5) jangan egois.

• Latar

-Latar Tempat 

kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya

-Latar Waktu

            Beberapa tahun yang lalu.

 

• Alur (plot)

Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin.

 

• Penokohan

Tokoh-tokoh penting dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual

(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.

(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri. 

• Sudut Pandang

Di dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

 

• Gaya bahasa

Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata. Gaya bahasanya sulit di pahami, gaya bahasanya menarik dan pemilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagaman.

 

UNSUR EKSTRINSIK :

·    Nilai sosial

Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.

·    Nilai Moral :

Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.

·    Nilai Agama :

Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.

·    Nilai Pendidkan :

Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.

·    Nilai Adat :

Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai dalam masyarakat.

 

HAL-HAL YANG MENARIK

1.       Surau tidak difungsikan, anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain berbagai macam kesukaan, dan perempuan sering mencopoti papan atau lantai di malam hari untuk dijadikan kayu bakar. Bersikap masa bodoh dan tidak memelihara sebagai mana mestinya,

2.       Bualan Ajo Sidi tentang kejadian di neraka membuat si kakek akhirnya muram dan akhirnya bunuh diri.

3.       Seorang laki-laki menikah dan hanya mengabdikan hidupnya sepanjang hari di surau tanpa memikirkan hidup duniawi harta ataupun kekayaan, dan melalaikan tugasnya sebagai seorang suami dan seorang ayah.

4.       Taat beribadah saja, membiarkan negara kacau balau, melarat, hasil bumi dikuasai negara lain tanpa memikirkan kehidupan anak cucu, pemalas dan  tidak mau bekerja,

5.       Melakukan perbuatan sesat dengan cara bunuh diri,

6.       Ajo Sidi tidak ikut melayat orang yang meninggal akibat bualannya, hanya berpesan agar dibelikan kain kafan 7 lapis sedangkan dai tetap pergi bekerja.

Cerpen "Siluet Senja"

Cerpen lama yang menyentuh hati,

SILUET SENJA

Oleh: Fanny Yusuf Irawan

 

Kubaca sekali lagi deretan nama-nama yang terpajang di kertas pengumuman itu. Sama saja. Tetapi tidak ada namaku tertulis di sana. Tidak ada satupun susunan huruf yang menyatakan bahwa Ali Husna, siswa kelas IIB lolos seleksi. Bahkan, di daftar pemain cadangan sekalipun.

            Wajahku menegang. Dadaku menggelegak, geram. Tanganku mengepal dan serta merta kupukul papan pengumuman itu hingga bergerak. Ku tak peduli dengan beberapa pasang mata di tempat itu yang menatapku heran. Segera aku berlalu dari aula student center dengan telapak tangan mulai terasa berdenyut, nyeri. Tapi perasaan sakit justru lebih terasa di sini, di hati. Aku terbuang dan aku marah. Namun, aku tidak tahu harus kulampiaskan pada siapa, yang juga pantas aku persalahkan dalam hal ini.

            Hilang sudah. Tidak ada lagi harapan. Apa yang kuperjuangkan semua ini percuma saja. Semua cuma sampah. Makiku dalam hati. Nafasku tersengal tak beraturan menahan hempasan emosi, seiring debam jalanku menyusuri koridor sekolah.

            Selepas tikungan, kuperlambat langkahku kemudian kududuk menyandar di deretan bangku panjang depan ruang perpustakaan. Lorong-lorong sekolah sudah mulai sepi dari suara-suara penghuninya. Hingga dentang jam sebanyak empat kali yang terdengar lama di ujung gang ruang kelas memecah kesenyapan dalam lamunanku. Tidak ada siapapun di sini, selain beberapa anak yang berdiri bergerombol di samping ruang OSIS, sebelah barat pintu laboratorium biologi yang berbatasan dengan perpustakaan ini. Aktivis-aktivis SMU 1.

            Sementara jauh di depan sana. Di seberang lapangan upacara. Di halaman sport hall sekolah, masih dapat kulihat sosok pak Dirman, guru olah raga sekaligus pelatih ekskul bola basket kami. Dia berjalan mondar-mandir dan nampak berteriak-teriak memberikan instruksi pada tim basket sekolah. Latihan perdana menghadapi kompetisi bola baket antar SMU sekodya dimulai hari ini. Dan, namaku tidak tercantum.

            Kulemparkan saja tas sekolahku hingga buku-buku di dalamnya berhamburan di lantai sesampaiku di kamar. Aku duduk di tepi kasur tanpa ranjang yang berseprei penuh dengan ornamen bunga matahari berwarna kuning.

            Pandanganku nanar menatapi benda-benda yang menjadi bagian dari kamar ini. Di atas pintu, menempel ring basket kecil dengan papan pantul berwarna biru. Sementara di sudut kamar tergantung kaos tim Atlanta Hawk dengan nama Sharif Abdurrohim di punggungnya. Pemain favoritku. Yang tiap kali kupandangi dialah selalu mengingatkanku pada semangatnya. Semangat bertanding seperti dia di NBA di sisi lain kamar ini. Di bawah kaligrafi bertuliskan Bismillahirrahmanirrahim dengan khas bergaya Arab khufi, terpasang foto berbingkai kayu itu terdapat gambarku mengenakan seragam basket diapit papa dan mama yang memegang bola. Kenangan itu, selalu ada dibatinku. Di atas meja belajar nampak pula beberapa majalah olahraga berjajar memenuhi rak buku. Sunyi.

            Aku mendesah. Rasa kesal itu belum hilang. Kurebahkan tubuhku dan kucoba memejamkan mata. Namun, yang terlintas dalam benakku Cuma sebuah bayangan menakutkan. Bayangan tentang diriku sendiri. Ini tidak adil. Benar-benar tidak adil.

            Basket adalah obsesiku. Aku ingin menjadi pemain profesional. Hingga tak pernah kuluangkan waktu seharipun tanpa berlatih. Mama dan papa selalu memberiku dorongan. Sesibuk apappun, mereka selalu meluangkan waktu untuk menyaksikan aku ditiap pertandinganku. Aku masih ingat, dulu papa pernah berucap:

“Raihlah, bila itu keinginanmu. Dengan usahamu sendiri. Tapi ketahuilah, itu semua bukanlah perjuangan dalam semalam.”

            Kucoba buktikan perkataan beliau, sedari SMP, lapangan basket merupakan ruang kelasku yang kedua. Di sana aku belajar. Belajar tantang banyak hal. Kuakui, sedikit banyak kudapatkan sesuatu yang baru dari sana. Juga tentang keyakinan ini. Keyakinan yang membuat aku begitu yakin akan mampu menjadi yang terbaik. Sampai kenyataan ini membenturku. Kenyataan yang baru kusadari setelah hari, minggu, bahkan dalam hitungan tahun terlewati, saat kucoba untuk mewujudkan bagian dari impianku, ternyata cuma untuk turut serta dalam kompetisi bila basket antar SMU pun aku tidak mampu. Pecundang.

            Aku mendengus keras. Pasti ada yang salah. Ya, pasti. Akulah kesalahan itu. Aku yang tak bisa berlari cepat. Aku yang tak mampu melompat tinggi, juga gerakanku yang tidak segesit mereka.

            Aku menerawang. Ini pasti karena aku terlalu gemuk. Postur tubuhku pun tidak ideal bagi seorang pemain basket. Tapi, ini tidak fair. Sangat tidak adil. Mengapa harus aku. Mengapa musti aku yang bertubuh gendut. Bukan mereka. Entah darimana datangnya, tiba-tiba kurasakan kebencianku membuncah. Kebencian irrasional. Aku mulai membenci tubuhku sendiri. “Tuhan tidak adil” pekikku tertahan.

            Bola melambung dan membentur papan. Meleset. Sudah yang kesekian kalinya shootingku tidak akurat. Bola kini berpindah tangan. Bang Andre mendrible. Ia menunjukkan kemampuannya sebagai pemain inti tim basket fakultas di kampusnya. Tubuhnya melayang sesaat, kemudian ia sudah bergelantungan di ring. Sempurna.

            Kuambil bola dan kembali kucoba untuk menembakkannya ke ring. Terlalu pelan. Hingga hanya menyambar jaringnya saja.

            “hei...ada masalah?” Aku tersentak. Masalah, batinku. Masalahnya adalah aku. Aku yang terlalu gemuk hingga gerakanku lamban. Coba, andai aku bisa lebih kurus, aku pasti bisa segesit itu, lompatanku pasti juga akan lebih tinggi. Lagi-lagi bayangan itu muncul kembali. Kebencian menyeruak menutupi benak hingga tersisa Cuma rasa benci.

            “Dari tadi aku perhatikan permainanmu jelek. Kenapa, kamu sakit?”

            Tangan kekar itu menyentuh bahuku.

            “Ah...tidak. tidak, Bang Cuma...”

            “Cuma apa?”

            Aku mendesah. Kumainkan bola basket di tangan dan membiarkannya berputar-putar di ujung jariku. Ku edarkan pandangan mengitari lapangan. Lapangan basket yang hanya berjarak tiga blok dari rumahku. Sepi, sesepi hari yang lain.

            Di sini cuma ada aku dan bang Andre, dialah satu-satunya penghuni blok F di perumahan ini yang kukenal. Aku yang kuper atau para penghuninya terlalu individualis. Entah.

            Sejenak aku duduk terpekur di lantai lapangan. Kemudian meluncurlah dari mulutku semuanya. Kuceritakan padanya tentang keinginan, perjuangan selama ini juga tentang kegagalan itu. Kegagalan yang tidak semestinya ada. Karena kata gagal tak pernah aku jumpai dalam kamus hidupku.

            Bang Andre menatapku. Lama sekali. Hingga membuatku jengah.

            “Husna, kita duduk disana.” Katanya sambil menunjukkan sepetak tanah kosong tidak jauh dari lapangan. Sepetak tanah yang berbatasan langsung dengan areal persawahan di tepi luar perumahan.

            Aku bangkit. Kuikuti saja langkah bang Andre yang meninggalkan jejak bayangan panjang dari tubuhnya yang tertimpa cahaya matahari sore. Keheningan melingkupi hingga kebisuan menebarkan pesonanya di antara pucuk-pucuk padi hijau yang berayun tersapu angin di depan sana.

            Kulirik sosok yang duduk di sebelahku. Rambut sebahunya berderai diterpa angin. Masih saja mata yang tajam itu terpaku menatap redup matahari di ujung langit. Petang selalu mengagumkan. Batinku, bulatan besar berwarna merah di cakrawala dibayangi langit jingga dengan siluet awan keperakan. Distorsi warna biru kelabu berbaur jingga seperti menjadi harmoni. Pada lukisan langit senja.

            “Husna, kau lihat itu...?” katanya tanpa menoleh ke arahku.

            “ya....,”

            “Indahkah itu semua...”

            Kucoba memahami pertanyaannya. Indah. Tentu saja. Sangat indah bagiku. Dan dia pun tahu itu. Sering aku memergoki dia sedang menatap langit sore dari loteng rumahnya. Kurasa, ia pun menikmati indahnya horizon saat sore.

            “Seperti apakah warnanya...?”

            Pertanyaan filosofis. Semua tahu warna langit senja. Harmoni dalam matahari merah di antara siluet awan membentuk sketsa abstrak. Sketsa berwarna jingga.

            “Maksudnya...?” Aku berbalik bertanya.

            Bang Andre tertawa kecil. Ia rebahkan badannya dan menatap lepas ke atas. Ke langit yang belum sepenuhnya gelap.

            “Aku tidak pernah bisa merasakan indahnya kesempurnaan warna-warna, pun dari langit senja ini.” Ujarnya pelan seperti berbisik.

            Aku makin tidak paham. Bicara apa dia.

            “Tapi pernahkah kau melihat aku mengeluh...?” sesaat ia menoleh ke arahku.

            “Pernahkah menyaksikan aku menyalahkan atas apa yang menimpaku atau sampai berpikiran sempit dengan menganggap Allah itu tidak adil?”

            Aku tertohok. Namun, apa sebenarnya maksud pembicaraan ini. Ia menarik nafas dalam.

            “Aku menderita buta warna.” Ucapnya datar.

            Namun membuatku terhenyak. Lidahku mendadak kelu hingga terasa sulit untuk kembali bersuara. “Bu...buta warna...” desisku. Terbayang olehku menatap remang layar dunia bertirai keterbatasan warna.

            “Namun, aku tidak marah atau merasa perlu meratapinya. Tidak, tidak akan. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Bersyukur, itu saja. Aku masih dikaruniakan banyak keindahan. Termasuk hingga detik ini masih dapat kusaksikan anggunnya senja. Dalam siluet.”

            Badanku tersentak. Kusarankan sesuatu menjalari tubuhku.

            “Husna...” ucapnya kemudian. Lirih. “Seperti apapun hidup, syukurilah. Pahami dalam setiap rangkaiannya pasti ada makna. Sebab tak ada yang sia-sia di dalam hiduku, hidupmu juga kehidupan ini.”

            Perasaan aneh seperti menderu di kedalaman relung jiwa. Rasa berdosa seolah telah menamparku. Aku tertunduk lemah bak kehilangan tulang penyangga tubuh. Tiba-tiba aku merasa sangat inmgin menangis. Sangat ingin menumpahkan airmata penyesalan ini pada sebuah sujud panjang.

            Astagfirullah...” gumamku terpatah-patah. Terlalu lirih mungkin desahku itu hingga seperti hilang tertelan desir angin petang.

                                                                           

Annida, Nomor 26/XI/25 September 2002

Materi dan contoh unsur intrinsik novel beserta kutipan dan sinopsis novel Makrifat Cinta

 

Ringkasan Materi Unsur Intrinsik

1.tema

Tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

2. setting/lattar

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisik dan psikologis

3. Alur atau Plot

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita

4. Penokohan dan Perwatakan

Penokohan atau tokoh mengandung pengertian pelaku mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita

Perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan lahirnya maupun keadaan batinnya yang dapat berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, dan adapt-istiadatnya

5. Sudut Pandang

 Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita   yang dipaparkannya

6. amanat

Amanat adalah pesan atau nasehat yang terdapat dalam karya sastra

7. gaya bahasa

Gaya adalah cara seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembacanya



IDENTITAS NOVEL

Judul               : Makrifat Cinta (Novel Spiritual Pembangun Iman)

Karya              : Taufiqurrahman al-Azizy

Tahun terbit     : 2007

Penerbit           : DIVA Press

Tebal Novel     : 399 halaman

Sinopsis

 

            Seorang pemuda berusia 25 tahun, memiliki akhlak yang mulia, mampu melewati  kegelisahan hati mencari cinta yang hakiki. Pemuda yang hafal al-Qur’an ini mengalami kegundahan hati. Hal ini dikarenakan amanah dari Kiai Abdullah Shidiq atau biasa dipanggil dengan Kiai Sepuh untuk datang tepat waktu setelah tiga tahun berlalu. Kedatangan tersebut dengan tujuan untuk menjemput kekasih yang akan ia nikahi.

            Dari ketiga gadis yang teramat ia cintai, ia harus memilih salah satu diantaranya. Mereka adalah Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Ketiga gadis ini adalah gadis yang baik, memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlak yang mulia. Zaenab itu gadis yang baik, memiliki wawasan dan ilmu agama yang luas, akhlaknya baik, tutur katanya lembut dan sopan. Khaura adalah gadis yang lugu. Dia adalah gadis yang termuda diantara Zaenab dan Lia. Dia jujur, polos, memiliki keinginan kuat untuk mempraktikkan ajaran-ajaran Allah, memiliki prinsip dan pendirian yang kuat pula, dia tegas, dan pemberani. Sedangkan  Priscillia ia adalah gadis yang tegas, teguh akan keyakinan, berani dan muslimah yang soleh dan berakhlak mulia. Ia dengan ikhlas meninggalkan keluarganya untuk mempertebal keimanannya terhadap Islam dan ia pun menunggalkan agama Kristen yang ia dapat dari garis keturunan keluarganya. Sulit bagi Iqbal untuk memilih salah satunya. Namun, ia pun tidak sanggup untuk menikahi ketiganya.

            Dalam keadaan yang membingungkan ini, masalah bertambah katika Kang Rakhmat meninggal karena penyesalannya terhadap perbuatannya kepada Iqbal di masa lalu.

2

 Ia memberikan wasiat cinta dengan meminta Iqbal untuk menjaga Aisyah, kekasihnya. Iqbal pun bertambah kalut. Ia dihadapkan dengan empat gadis yang sangat ia sayangi. Iqbal tidak mencintai Aisyah layaknya seorang laki-laki kepada perempuan, melainkan ia menyayanginya sebagai saudara.

            Ketika pikirannya bimbang, ia meminta Irsyad untuk memberikan pendapat. Lalu dari Iryad ia mengetahui bahwa menjaga Aisyah tidak harus dengan menikahinya melainkan mencarikan jodoh yang baik yang dapat menjaga Aisyah dan keimanannya kepada Allah. Maka ia pun meminta Ihsan untuk mau menjadi pendamping Aisyah. Ihsan dan Aisyah pun akhirnya dijodohkan.

            Setelah persoalan Aisyah telah selesai, ia pun semakin terdesak. Dia harus segera memilih diantara Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Belum selesai masalah itu, Iqbal  diharuskan mencari mahar yang akan ia berikan kepada calon istrinya dan ia pun harus meminta restu kepada keluarganya.

            Iqbal meminta pendapat kepada semua orang terdekatnya,Ayah, Ibu, orang tua angkatnya, Aisyah, Irsyad, Kiai Sepuh, dan teman-temannya. Akhirnya ia pun mendapat saran yang menjadi penerangnya siapa yang akan ia pilih nantinya. Atas saran Bu Jamilah, ibu yang banyak memberikan pelajaran kehidupan kepadanya seperti kemiskinan yang tidak membuatnya putus asa untuk jalani kehidupan karena keikhlasannya kepada Allah membuatnya mendapat tempat  yang istimewa di sisi Allah, insya Allah. Akhirnya Iqbal tahu sapa yang seharusnya ia jadikan istri. Dari ketigab gadis yang sangat istimewa tersebut, hanya Priscillia yang lebih membutuhkannya.

 

3

Karena ia tidak hanya membutuhkan suami tetapi ia juga membutuhkannya sebagai orang tua, saudara, sahabat, dan pembimbing imannya. Karena ia telah kehilangan kesemuanya itu karena keinginannya yang ingin meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan kecintaannya kepada Allah SWT.

            Setelah tahu sapa yang akan ia nikahi maka Iqbal meminta restu kepada keluarganya. Tadinya ia menganggap bahwa kedatangannya ke keluarga non muslim itu akan ditolak mentah-mentah. Tetapi ternyata tidak. Mereka menerima Iqbal dengan sangat baik. Setelah membicarakan keinginannya untuk menikahi Priscillia, ia sempat ditanya oleh ayah Priscillia yaitu bolehkah seorang Kristiani seperti dia memasuki tempat orang muslim,menghadiri pernikahan anaknya dan dapat menjadi mertua Iqbal. Setelah mendapat penjelasan dari Iqbal maka orang tua Priscillia menyetujui pernikahan anaknya dengannya. Khaura menyetujui perjodohannya dengan pemuda yang telah ditentukan oleh orang tuanya. Dan Zaenab pun tidak akan kesulitan mendapatkan pasangan hidup karena ia adalah gadis yang sangat mulia. Akhirnya Iqbal  pun dapat menikah dengan Priscillia, dan Zaenab serta Khaura menerima keputusannya dengan ikhlas.

 

  UNSUR INTRINSIK

1. Tema

Tema Novel Makrifat Cinta karya Tufiqurrahman al-Azizy adalah pencarian cinta religius yang bersumber pada cinta IlahTema tersebut diperjelas dengan kutipan,

            … Dengan sepenuh sungguh, aku bermohon petunjuk kepada Allah agar Dia          berkenana memberi jodoh yang tepat untukku. Dalam tidur yang kurang lebih setengah jam itu, aku belum mendapat firasat apa-apa. Tanda-tanda cinta tak                        kunjung datang jua. Hanya saja…, kudapati bahwa pikiran, perasaan, dan hatiku             lebih tenang daripada sebelumnya. Aku pasrahkan diri kepada kehendak Ilahi.       Kehendak-Nya adalah sebaik-baiknya kehendak bagi mahluknya.

                                                                                        (Makrifat Cinta,2007: 345-346)

 

2. Setting       

Setting Novel Berjudul Makrifat Cinta Karya Tufiqurrahman al-Azizy

 

1. Setting Tempat

            Setting tempat dalam novel ini adalah pesantren Tegal Jadin yang terdapat di wilayah Solo di daerah Tegal Jadin.

            Setting tersebut dapat dilihat dalam kutipan,

                        Sebentar lagi langkah-langkah kami akan segera sampai di    petanahan        Tegal Jadin. Di sisi lain dari apa yang kugelisahkan sekarang ini,        aku sangat       senang dengan perjalanan yang aneh ini. Kurang lebih sejauh lima      kilometer         kami menempuh perjalanan dengan jalan kaki. Bagiku, berjalan kaki                        sejauh ini telah biasa. Telah beberapa kali aku datang ke dan pergi dari Tegal          Jadin.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 57)

 

            …

            “Kalau begitu, bisakah kamu pulang sekarang?”

            “Sekarang?”

            “Ke Tegal Jadin.”

            “Ke pesantren Kak Iqbal?”

            “Ibu dan adikmu ada disini.”

            “Ada di situ? Teka-teki apa ini yang tengah kudengar?”

            “Ada deh. Ini teka-teki cinta…”

(Makrifat Cinta,2007: 79)

 

            Selain setting tempat di atas terdapat juga setting tempat lain yaitu, kota Banjarnegara dan Salatiga. Selama tiga tahun aku menapaki hidup di atas tanah-tanah Kota Banjarnegara, menghirup cinta dari kegelisahan hati. Aku telah menjadi musafir,     mengeja kehidupan, dan mereguk anggur pengalaman…

                                                                           (Makrifat Cinta,2007: 10)

 

                        Pagi telah merekah. Mentari bersinar demikian elok. Aku baru saja selesai   mandi.             Lalu berganti pakaian. Dan bersiap-siap hendak berangkat ke salatiga.     Aku ingin menemui Bu Jamilah, sebab dialah ibu satu-satunya yang belum         kumintai saran dan pandapatnya.

                                                                                      (Makrifat Cinta,2007: 342)

 

2. Setting Waktu

            Setting waktu dalam Novel ini berada pada waktu pagi, siang, sore dan malam hari.

 

            Hal ini diperjelas dengan kutipan-kutipan sebagai berikut,

            Jam 07.00 WIB.

            Kiai Sepuh memanggilku.

            Aku penuhi panggilan beliau.

            “Sudah kau dapat maharmu, Bal…?”Tanya beliau.

            “Sudah, Kiai….”

                                                                (Makrifat Cinta,2007: 366)

                        Pukul 12.45 WIB.

            Kami usai menjalankan shalat jumat. Para sahabatku yang dari Banjarnegara           menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan sahabat-sahabat lamaku.

            Mereka aktif berdiskusi, Tanya jawab, soal-soal agama.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 112)

 

            Pukul 15.30 WIB.

            Jenazah Kang Rahmat dikubur.

                                                (Makrifat Cinta,2007: 127)

 

            Pukul 23.00 WIB.

            Aku menuju ke tempat wudlu. Aku ingin menjalankan ibadah malam, memohon    petunjuk dan pertolongan Allah SWT.

                                                                                    (Makrifat Cinta,2007: 342)

 

 

3. Setting Peristiwa

            Setting peristiwa novel ini adalah,

  • Perjalanan Iqbal menuju ke Tegal Jadin untuk menemui dan memilih ketiga gadis yang dicintainya untuk menjadi istrinya.mereka adalah Zaenab, Priscillia, dan Khaura. Serta memenuhi janjinya kepada Kiai Sepuh.

            Diperjelas dengan kutipan,

                        Aku menghela nafas syukur. Kuhela pelan. Kutiupkan pelan. Kumelihat                 jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum jam menunjuk angka     setengah sepuluh. Mobil terus melaju. Kota Banjarnegara telah jauh di      belakang. Tegal jadin masih jauh. Masih berjam-jam lagi harus ditempuh.

                                                                                                (Makrifat Cinta, 2007: 13)

  • Kebingungan Iqbal untuk memilih siapa yang menjadi kekasih hatinya, siapa yang akan ia cintai dan nikahi antara Zaenab, Priscillia, dan Khaura.

            Hal ini diperjelas dengan kutipan,

            Tetapi, siapakah kekasihku? Siapakah cintaku? Apakah dia yang aku cinta selama ini telah merangkai bunga-bunga rindu dihatinya, yang kelopaknya menebarkan            keharuman aroma cintaku? Siapakah dia adanya? Betulkah Zaenab? Atau dia    adalah Priscillia? Kemana Khaura? Apakah aku bisa mencintai ketiga gadis itu             secara sekaligus tanpa mengurangi atau melebihkan rasa cintaku antara satu                        dengan yang lain?! Jika memang aku mencintai mereka, benarkah mereka akan mencintaiku pula?

 

 

            Lalu, atas dasar apa aku mencintai mereka dan mereka menanamkan benih cintanya kepadaku?

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 56)

  • Wasiat cinta dan kematian Kang Rakhmat.

            Dapat dilihat dalam kutipan,

                        “…. Aku titip Aisyah kepadamu. Jagalah dia dengan sepenuh hatimu.         Tunjukkanlah dia bagaimana lezatnya cinta kepada Allah kita, Akh. Maukah   engkau melakukan permohonanku ini?”

                        “Insya Allah, Kang. Insya Allah….”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 123)

                        Jerit tangis Aisyah menyadarkankanku dari dekapanku kepada kang           Rakhmat. Pelan-pelan, kubuka kedua mataku. Pelan-pelan, baru kusadari dan          kurasakan batapa dinginnya tubuh Kang Rahmat.

                        Kang rakhmat meninggal di pelukanku….

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 126)

  • Iqbal Memilih Priscillia sebagai Istrinya. Walaupun Priscilllia berasal dari keluarga non muslim.

            Dapat dilihat dari kutipan,

                        “Apakah boleh dalam agama Anda, seorang suami yang memiliki mertua    beda agama?”

                        “Apakah itu menjadi persoalan buat bapak sekeluarga.”

                        “Tidak.”

                        “Saya juga tidak ada persoalan, jika memang bapak dan keluarga     menerima saya sebagai menantu dengan segenap perbedaan keyakinan saya dan         Lia terhadap Bapak, Ibu dan Adik….”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 372)

  • Iqbal menikah dengan Priscillia.

            Setting peristiwa ini diperjelas dengan kutipan,

                        Kemudian aku, melangkah pelan menuju meja akad. Bersamaan      denganku, Priscillia pun maju. Batas agama Islam akhirnya tidak bisa dilanggar                   dalam prosesi pernikahan ini. Lia tidak menjadikan ayahnya sebagai wali nikah. Kutoleh kedua orang tuanya. Air mata mengucur deras di pipi ibunya. Lia maju             dengan bersendiri.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 382)

 

 

3. Alur atau Plot

Alur novel ini adalah alur sorot balik

            Diperjelas dengan kutipan,

                        “Masih ingatkah engkau bagaimana Kang Rakhmat memimpin para             sahabat mengarak-arakmu, mencaci-makimu, dan… memukulimu, beberapa       tahun yang silam? Masih ingatkah engkau akan syahadah cintamu yang telah      mengakibatkan penderitaan yang terjadi pada dirimu?”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 87)

            Novel ini memiliki alur sorot balik karena novel ini menceritakan tentang                bagaimana Iqbal memilih dan mendapatkan gadis yang tepat untuk ia jadikan istrinya. Selama penulis mengungkapkan cerita ini, alur yang digambarkan dalam     setiap peristiwa-peristiwa yang menjalin ceritanya terus berkembang. Dalam             berkembangnya cerita penulis pun mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang           terjadi sebelumnya.

           

            Pernyataan ini pun diperkuat dengan kutipan,

            Aku juga berdiri, tetapi hampir saja aku ambruk.

            Baju yang dikenakan Priscillia itu, adalah baju yang dia kenakan ketika dia             kudapati pingsan didekapanku, tiga tahun yang lalu. Juga kerudung itu. Air    mataku menetes, dan segera kuusap sebelum para sahabat memergokiku.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 381)

           

 

Tahapan alur novel ini menurut Burhan Nurgiyanto dapat dirinci sebagai berikut,

  • Tahap situation (tahap penyituasian)

            Tahap ini adalah tahap yang paling utama yang berisi pelukisan dan pengenalan      situasi latar dan tokoh-tokoh cerita.

            Dalam novel ini tahap penyituasian bertumpu pada  tokoh yang nantinya akan        menjadi penentu jalan cerita serta situasi atau kejadian apa yang akan dialami         tokoh utama selanjutnya.

            Pernyataan ini diperjelas dengan kutipan,

                        Hari-hariku kembali cerah, tetapi hari ini adalah hari yang paling cerah.       Seperti sepasang bangau yang terbang mengepak sayap-sayapnya itu, melintas di       atas persawahan menuju satu titik impian. Dan aku pun akan segera menuju     impianku, mewujudkannya menjadi bagian dari hari-hariku di kemudian.    Terbayang di pelupuk mataku, wajah ayu Zaenab, Khaura dan Priscillia. Oh,        seandainya saja cintaku diterima mereka semua, betapa indah dunia.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 9)

 

  • Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik)

            Tahap ini adalah tahap pemunculan konflik.

            Pemunculan konflik novel ini terlihat pada saat Kang Rakhmat meninggal akibat    rasa penyesalannya kepada Iqbal. Lalu sebelum meninggal Kang Rakhmat          memberikan wasiat cinta dengan menjaga Aisyah.

            Diperjelas dengan kutipan,

                        “…. Aku titip Aisyah kepadamu. Jagalah dia dengan sepenuh hatimu.         Tunjukkanlah dia bagaimana lezatnya cinta kepada Allah kita, Akh. Maukah   engkau melakukan permohonanku ini?”

                        “Insya Allah, Kang. Insya Allah….”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 123)

 

  • Tahap rising action (tahap peningkatan konflik)

            Tahap ini adalah tahap meningkatnya konflik. Konflik semakin berkembang,          mencengkam dan menegangkan.

            Dalam novel ini konflik bekembang saat Iqbal mengalami kebingungan untuk         memilih siapa dari ketiga gadis yang dicintainya untuk ia pilih menjadi istrinya            tetapi juga ia harus mewujudkan wasiat cinta yang diberikan Kang Rakhmat                    kepadanya.  Apakah Iqbal harus menikahi Aisyah yang telah dianggapnya sebagai            saudara atau tiga gadis yang dicintainya, yaitu Zaenab, Khaura dan Priscillia.         Atau ia harus menikahi keempatnya.

            Diperjelas dengan kutipan,

                        “Lalu bagaimana dengan cintaku kepada Zaenab? Kepada Priscillia?           Kepada Khaura? Ya Allah…, kenapa urusanku menjadi demikian rumit ini?”

            Aku putus asa. Tepatnya, hampir berputus asa. Tak kubayangkan sebelumnya         bahwa aku akan menemui kerumitan cinta seperti ini. T’lah kubayangkan bahwa           aku bersanding secepatnya dengan dia yang memang kucintai dari dasar lubuk         hatiku. Dan tak kubayangkan bahwa aku akan menikahi seorang gadis yang dia             adalah putrid kiai tetapi atas dasar wasiat cinta.

                                                                                    (Makrifat Cinta,2007: 202-203)

  • Tahap klimaks (tahap klimaks)

      Tahap ini adalah tahap terjadinya konflik dengan pertentangan-pertentangan yang             terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik      intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang        berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

      Dalam novel ini dapat dilihat bahwa konflik terjadi ketika Iqbal, tokoh utama        telah didesak oleh Kiai Sepuh untuk memilih siapa yang akan dijadikannya        sebagai seorang istri. Ia pun semakin bingung dan sulit untuk memilih ketiga        gadis yang dicintainya yang merupakan gadis-gadis yang mulia.

      Dengan kutipan,

                  Bila Kiai Sepuh mengatakan bahwa aku memendam keraguan, maka           inilah yang memang tengah kurasakan sekarang.

      O, betapa memalukannya aku ini        setelah sekian lama merasa seakan-akan bisa dengan mudah mendapatkan pasangan hidup. Tetapi hari ini mataku baru terbuka         bahwa tidak mudah    mendapatkan pasangan hidup itu. Sebelumnya, aku       membayangkan bahwa aku ke sini hanya untuk menjemput Zaenab,       Priscillia, dan Khaura, lalu mereka kunikahi. Dan… aku melamar mereka.   Dan     aku hidup berumah tangga dengan mereka.

                                                                                          (Makrifat Cinta,2007: 248)

  • Tahap denouement (tahap penyelesaian)

            Tahap ini adalah tahap dimana konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.

            Setelah terjadi klimaks yang dialami oleh Iqbal, maka ia pun mendapat       pemecahan masalah dari bu Jamilah. Bu Jamilah memberikan saran kepadanya                untuk memilih Priscillia. Karena Priscillia lebih membutuhkannya selain sebagai         suami ia butuh seseorang sebagai ayah, sahabat, saudara serta guru yang akan bisa      membimbingnya menuju keimanan dan keyakinannya kepada Allah SWT. Dan                  akhirnya Iqbal pun menikah dengan Priscillia. Kisah ini berakhir Happy Ending.

            Dijelaskan dalam kutipan,

                        …. Tetapi Lia adalah Lia, dan Lia adalah seorang gadis. Dia tidak hanya    membutuhkanmu sebagai seorang muslim yang dapat dijadikan sahabat dalam                         keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Dia membutuhkanmu sebagai        pembimbing, cahaya yang akan menerangi hidupnya, kekuatan yang akan             menguatkan jiwanya yang rapuh.

            Oh, andaikan Ibu adalah seorang pemuda lajang, Ibu akan menengadahkan kedua             tangan Ibu supaya Ibu bisa menikahi Lia. Menikah tidak hanya membentuk      mahligai rumah tangga, Nak. Menikah berarti juga menjalankan dakwah,             menyeru kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam hal yang demikian, Lia    lebih             membutuhkanmu ketimbang Zaenab dan Khaura.

                                                                                    (Makrifat Cinta,2007: 350-351)         

 

4. Penokohan dan Perwatakan

A. Tokoh Utama

Tokoh utama novel ini adalah

  • Iqbal Maulana,
  • Zaenab,
  • Priscillia, dan
  • Khaura.

            Terdapat dalam kutipan,

                        Oleh karena itu, duh Iqbal….

                        Bila engkau tertarik pada seorang gadis, entah kepada Zaenab, Priscillia,     atau Khaura maka itu adalah hal yang wajar. Engkau terbayang wajah mereka.      Engkau merindui mereka….

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 295)

b. Tokoh Pembantu 

- Irsyad                              -Firman                           - Fatimah

- Aisyah                             - Indri                             - Dawam

- Kiai Sepuh                      - Okta                             - Amin

- Kiai Subadar                   - Parno                            - Bapak Ignatius Dibyo Pratisto

- Ayah Iqbal                      - Patmo                           - Ibu Maria

- Ibu Iqbal                         - Surya                            - Adik Priscillia

- Pak Burhan                     - Kang Rakhmat

- Bu Laela                         - Kang Rusli

- Bu Jamilah                      - Ihsan

 

B. Perwatakan

1. Tokoh Utama

  • Iqbal Maulana

      Wataknya : Soleh, sopan, suka menolong, rendah hati, dan selalu dilanda    kebingungan menentukan siapa cintanya.

      Kutipan,

      Aduhai, Priscillia….

      Aku sungguh malu kepada Allah dan kepada dirimu. Aku malu kepadamu sebab   aku masih dipusingkan oleh urusan cinta birahi ini, sedangkan engkau tengah     memasuki lautan cinta Ilahi.

                                                                                          (Makrifat Cinta,2007: 354)

 

  • Zaenab

            Wataknya : Nak Zaenab itu gadis yang baik, memiliki wawasan dan ilmu agama    yang luas, akhlaknya baik, tutur katanya lembut dan sopan.

            Dengan kutipan,

                        “Marilah saya ajak Nak Iqbal untuk merenungkan: Nak Zaenab itu gadis     yang baik. Lia dan Khaura juga demikian. Ibu sudah senpat bercakap-cakap       banyak kepada masing-masing mereka, bertanya tentang keluarga dan sebagainya.        Zaenab itu berasal dari keluarga yang baik. Ayahnya memiliki garis nasab dengan             ulama yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dia masih keturunan ulama besar.   Dia berasal dari Jawa Timur. Dari sejak kecil, dia hidup dari satu pesantren ke       pesantren yang lain. Pesantren Tegal Jadin adalah tempat persinggahan   terakhirnya. Nak Iqbal bisa bayangkan, gadis seperti itu tentu memiliki wawasan    dan ilmu agama yang luas. Akhlaknya baik. Tutur katanya lembut dan sopan.           Senyumnya memikat. Wajahnya yang cantik. Pendeknya, dia adalah gadis yang      sempurna. Kecantikannya luar-dalam.”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 348)

  • Khaura

      Wataknya : Khaura adalah gadis yang lugu. Dia adalah gadis yang termuda            diantara Zaenab dan Lia. Dia jujur, polos, memiliki keinginan kuat untuk   mempraktikkan ajaran-ajaran Allah, memiliki             prinsip dan pendirian yang      kuat pula, dia tegas, dan pemberani.

      Kutipannya,

                        Lalu tentang Khaura, Bu Jamilah berkata:

            “Khaura adalah gadis yang lugu. Dia adalah gadis yang termuda diantara Zaenab dan Lia. Dia jujur. Polos. Memiliki keinginan kuat untuk mempraktikkan ajaran-          ajaran Allah. Memiliki prinsit dan pendirian yang kuat pula. Dia tegas. Dia     pemberani. Salah satu buktinya adalah dia menolak untuk dijodohkan oleh orang   tuanya.”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 348)

 

  • Priscillia

      Wataknya :  tegas, teguh akan keyakinan, berani memutuskan untuk menjadi          mualaf, muslimah yang soleh dan berakhlak mulia.

      Dengan kutipan,

                        Demi kerudungmu, engkau jaga keyakinanmu. Demi jilbabmu, engkau        kesampingkan hasrat rindu dan cintamu kepada orang tua dan saudaramu. Demi            keyakinanmu, engkau tinggalkan sahabat-sahabat dan kuliahmu. Demi Islam,            engkau barada disini.

            Oh, Lia…

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007:309)

 

2. Tokoh Tambahan

  • Irsyad

            Wataknya : Bijaksana, soleh, memiliki hati yang mulia, sopan, cerdas dan arif.

            Kutipannya,

            …. Setelah beberapa hari aku dilanda gelisah dan kebingungan tantang wasiat        cinta, kini, berkat tutur kearifan Irsyad, aku Insya Allah akan tetap bisa        melaksanakan wasiat Kang Rakhmat, tetapi sekaligus tidak memaksa diriku untuk             mengubah rasa cintaku kepada Aisyah….

                                                                                                (Makrifat Cinta, 2007: 221)

  • Aisyah

            Wataknya : Gadis yang soleh dan memegang teguh cintanya.

            Kutipannya,

            Karena apalagi? Karena cinta? Lupakanlah kita bahwa kita saling mencinta? Aku   adikmu dan engkau kakakku? Cintaku sebagai seorang gadis adalah untuk Kang            Rakhmat….

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 202)

  • Bu Jamilah dan bu Laela

            Wataknya : Kedua ibu ini memiliki sifat keibu-ibuan yang tinggi, bijaksana,            penyayang. Yang membedakan keduanya adalah kebesaran hati Bu Jamilah yang        telah menjalani tempahan hidup membuatnya lebih memiliki kebesaran hati.

            Kutipan,

                        Bu Jamilah dan Bu Laela saling berpelukan, saling mencium pipi kiri-          kanan. Allahu akbar. Kurasakan energi agung memenuhi ruangan yang sempit ini,            tatkala dua sosok ibu yang memiliki derajat tinggi sebagai muslimah bertemu        dalam rangkulan dan ciuman sepenuh kasih. Hilanglah sudah batasan bahwa Bu       Laela barasal dari keluarga yang kaya, sedangkan Bu Jamilah berasal dari   keluarga yang miskin.

                                                                                                (Makrifat Cinta, 2007: 48)

  • Pak Burhan

            Wataknya : bijaksana, baik hati dan penyayang.

            Kutipan,

            Pak Burhan tertawa,”Sedikit membantu pemerintah Wonosobo kan nggak apa-      apa?

            “Bapak memang orang yang baik. Tak peduli apakah Pemerintah Wonosobo akan membantu Bapak atau tidak….”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 15)

 

  • Ayah dan Ibu Iqbal

            Wataknya : Menyayangi Iqbal dan memiliki sikap bijaksana.

            Kutipan,

            Kucium kening Ibu.

            Ayah mencium keningku.

            Menatapku, Ibu berlinangan air mata. Api rindu berkobar-kobar di dadaku kepada             ibu, kini telah padam sudah. Aku bahagia melihat ibuku kembali. Juga melihat      ayahku.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007:114)

 

  • Kiai Subadar

            Wataknya : seorang guru dan ayah yang bijaksana

            Kutipannya,

            Dalam hal menikah, walau kiai sudadar adalah seorang kiai. Beliau menyerahkan   masalah ini sepenuhnya kepada putrinya.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 253)

 

  • Kiai Sepuh

      Wataknya : guru yang baik dan bijaksana

      Kutipannya,

                  Anakku…

      Seseorang tidak akan mampu menggapai dan mencapai kecintaan Allah terkecuali ia mampu untuk melatih dirinya sendiri dengan mengekang hawa nafsunya.         Seseorang telah berkata,”mengekang hawa nafsu adalah memuliakannya.    Melampiaskannya menurut kemauannya adalah kehinaan abadi.

                                                                              (Makrifat Cinta,2007: 293)

  • Firman, Indri, Okta, Parno, Patmo, Surya

            Wataknya : Mereka adalah sahabat-sahabat Iqbal yang tergabung dalam Ashabul   Kahfi. Mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk memperbaiki kesalahan dan      dosa-dosa yang pernah mereka lakukan dengan meningkatkan keimanan kepada         Allah SWT.

            Kutipan,

            … Cukuplah aku bahagia melihat sahabat-sahabatku mendapatkan cahaya-Nya      kembali setelah sekian lama lilin suci hati tidak menyala…

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 13)

 

  • Dawam, Kang Rusli, Amin, dan Ikhsan

            Wataknya : Mereka adalah sahabat-sahabat iqbal yang soleh dan merupakan santri             di pesantren Tegal Jadin. Mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk belajar.

 

            Kutipan,

            Inilah saat bagiku untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang ada di             pesantren ini. Inilah saatnya aku bersua dengan Kang Rakhmat, Dawam, Kang   Rusli, dan Amin….

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 63)

…. Mereka mengangkat bahu. Mereka menyerahkan jawaban sepenuhnya   kepada Allah. Dan mereka tetap pada pendirian mereka.

            Mereka tidak mau menziarahi makam Kang Rakhmat. Mereka melakukan ini          dengan alasan ingin menghindari bid’ah dalam agama….

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 141)

  • Fatimah

            Wataknya : Gadis kecil yang lucu, sopan dan soleha.

                        Segara kukenalkan Fatimah kepada Bu Laela dan Pak Burhan. Fatimah      menyalami mereka, bergantian. Tak lupa, dia mencium tangan Pak Burhan dan   Bu Laela. Dan baru kusadari bahwa Bu Laela pun menitikkan air mata.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 42)

  • Kang Rakhmat

 

            Wataknya : Baik hati , beriman dan mudah menyesali perbuatannya.

                  Ketika dia telah bisa menguasai dirinya kembali, dia lalu      berkata,”Kematian memang menyedihkan. Tetapi, kematian Kang Rakhmat itu          adalah kenyataan yang mengembirakan. Dunia harus berduka dengan    kematiannya, sebab orang baik seperti dia sesungguhnya lebih berhak menghuni     muka bumi ini daripada para bajingan tengik, tukang pembuat kerusakan,    koruptor, pembunuh, pemerkosa, dan setan-setan lainnya yang berwajahkan             manusia! Bagi penduduk bumi, kematian orang seperti Kang Rakhmat memang       merupakan suatu kehilangan yang menyakitkan. Tetapi, bagi Kang Rakhmat           sendiri, kematiannya adalah pintu kebahagiaan yang kekal di sisi Allah.

                                                                                          (Makrifat Cinta,2007: 156)

 

 

 

5. Sudut Pandang

            Sudut pandang yang dipakai dalam novel ini yaitu sudut pandang persona pertama

Yaitu “Aku”.

            Diperjelas dalam kutipan,

                        Aku masih diam, sebab aku masih takut. Dan karena aku dihantui oleh        ketakutan-ketakutan yang seperti itu, hampir saja aku lupa dengan apa yang      dikatakan Irsyat dan beberapa sahabat. Juga hampir lupa dengan perkataan Ayah,          bahwa cinta membutuhkan pengakuan. Alam meletakkan kecenderungan kepada   laki-laki untuk melahirkan perasaan cintanya kepada perempuan. Aku hampir           lupa bahwa aku balum menyatakan perasaan cintaku kepada mereka.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 301)

pengertian sudut pandang persona pertama adalah seseorang ikut terlibat dalam     cerita, ia adalah si “Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan. Serta sikapnya terhadap orang lain        (tokoh) kepada pembaca (Nurgiyanto, 2007:262)

seperti halnya pengertian di atas, novel ini melukiskan tokoh yang bernama Iqbal   Maulana dengan gaya “Aku”. Di sini tokoh ini dapat merasakan semua hal yang dialaminya dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi serta tokoh-tokoh yang berinteraksi dengannya.

            Dilihat dalam kutipan,

                        Akankah kunikahi Aisyah tanpa ada rasa cinta di hatiku, demi dan hanya   demi memenuhi wasiat Kang Rakhmat? Benar-benar berdosakah aku apabila           tidak kupenuhi wasiat tersebut?

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 209

6. Gaya             

            Gaya bahasa yang terdapat dalam novel ini adalah sebagai berikut:

  • Personifikasi

            Personifikasi adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati menjadi          benda hidup, khususnya diumpamakan seperti manusia.

            Gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam novel  ini dapat dilihat dalam         kutipan,

            Kepulan asap bergulung-gulung di atas wuwungan, bau bata yang terbakar, dan     sebuah gubuk tua berdiri sunyi di antara hija-ranau padi. (Makrifat Cinta,2007: 9)

 

            Ada kegetiran ketika nisbat Tuhan dikulum dalam lidah yang penuh dosa; ada        kengerian tatkala separuh jiwa terbang bersama nafsu. (Makrifat Cinta,2007: 10)

  • Metafora

      Metafora adalah gaya bahasa yang mengutamakan perbandingan benda satu           dengan benda lain yang memiliki sifat sama atau hampir sama.

      Dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan,

      Kumasukkan air suci yang mensucikan ini pada hidungku, hidung yang suka          mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma surga. Hidung             yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki           di singgasana-Nya. (Makrifat Cinta,2007:211)

  • Alegori

            Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap sesuatu kejadian dalam           bentuk beberapa perbandingan tetapi tergabung dalam suatu kesatuan yang utuh.

            Denting-denting waktu bagai dawai gitar yang dipetik dalam irama konstan dan    terus berpacu. (Makrifat Cinta,2007:197)

            Dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan

            Khilaf itu ibarat debu yang menempel di kesucian cermin jiwamu. Itu hanya          debu. Setitik debu. (Makrifat Cinta,2007: 100)

  • Hiperbola

            Gaya bahasa ini adalah gaya bahasa yang menggantikan kata sederhana menjadi    luar biasa.

            Dalam novel ini terdapat pada kutipan,

            Sekarang rasa itu semakin menguat-menumpuk menggumpal di dasar lubuk           hatiku. (Makrifat Cinta,2007: 221)

            Tulisan itu seolah-olah menatapku tajam, menusuk mataku, membelit akalku,          menukik dan menghunjam di hatiku. (Makrifat Cinta,2007: 209)

  • Litotes

      Gaya bahasa ini mempergunakan kata yang berlawanan artinya dengan maksud      untuk merendahkan diri.

 

      Oh, Priscillia, aku jika dibandingkan dirimu tidak sebanding. Aku bukan apa-apa    bagi keluhuran dan kesucian jiwaku. Engkau telah menjadikan cinta kepada Allah   di atas segalanya. (Makrifat Cinta,2007: 354)

 

  • Repetisi

            Gaya bahasa ini merupakan pengulangan kata beberapa kali dalam kalimat.

            Dalam novel ini dapat dilihat dalam kutipan

            Tetapi akalku mengalami kegelapan. Hatiku terseret kegelapan. Bahkan, tiba-tiba   dunia menjadi gelap di mataku. Batinku menjerit keras. Keras sekali. Hatiku            berteriak kencang. Kencang sekali. (Makrifat Cinta,2007: 302)

            Zaenab tersenyum padaku

            Priscillia tersenyum padaku    

            Khaura tersenyum padaku

                        (Makrifat Cinta,2007:304)

 

  • Paralelisme

      Gaya bahasa ini sama seperti gaya bahasa repitisi tetapi hanya terdapat dalam         puisi.

      Kutipan dalam novel ini adalah,

      Biarkan hatiku mabuk cinta.

      Jangan kau cela ia jika tampak lalai

      Biarkan hatiku

      Andai kau tahu bagaimana cinta itu menggodaku

      Kekasihku adalah Tuhan Yang Maha Akhir dan Maha Awal

      Biarkan hatiku

      Inilah cintaku,

      Kupersembahkan kepada Dzat yang selalu memberi dan tak pernah meminta.

      ….

                                                                        (Makrifat Cinta, 2007: 374-375)                    

  • Asosiasi

            Gaya bahasa ini memperbandingkan satu benda terhadap benda lain sehingga         membawa asosiasi kepada benda yang diperbandingkan.

            Dalam kutipan,

            Astaga, cintaku…

            Sembunyikanlah gairahmu;

            Penyakitmu adalah juga obatmu sebab

            Cinta bagi jiwa adalah ibarat anggur dalam gelas

            yang engkau lihat adalah

            cairannya, yang tersembunyi adalah rohnya.

                                    (Makrifat Cinta, 2007: 269)

7. Amanat

            Amanat novel ini adalah sebagai manusia kita harus,

  • Selalu berupaya untuk memperbaiki kualitas hidup; yang kaya menggunakan sayap syukur untuk mencapai ridha Allah, sedang yang miskin terbang bersama sayap syukur mencapai cinta-Nya.

      Dijelaskan dalam kutipan,

                        ….

                        Berkat mereka aku menyadari betapa uang dan materi hanyalah sesuatu      yang sirna. Tak pernah mengabadi. Akan musnah. Akan lenyap. Uang dan materi    hanyalah alat untuk hidup, bukan tujuan hidup. Hidup terlalu naïf bila            digantungkan pada uang dan materi. Ada dan tidak adanya uang dan materi sama             saja. Kalau ada alhamdulillah, tidak ada alhamdulillah. Inilah hakikat ikhlas dan             betapa besarnya pahala ikhlas itu disisi Allah SWT.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 36)

 

  • Untuk menjadi baik, tidak ada jalan kecuali merevolusi diri dan memegang teguh kebaikan.

            Dilihat dalam kutipan,

                        “Tidak Kang. Engkau tidak menyekutukan Allah. Engkau pun tidak           membunuhku. Itu hanya kekhilafan yang amat kecil bagi pengetahuan dan     keilmuanmu.

            Itu hanyalah kesalahan kecil bagi kemuliaan dan keluhuran akhlakmu.Derita          yang telah engkau sandang sepanjang tiga tahun ini, sebagai bentuk      sesalmu, menunjukkan betapa tingginya kedudukanmu di hadapan           manusia.

                                                                                                (Makrifat Cinta, 2007: 99)

  • Untuk menjadi benar, tidak ada jalan lain kecuali berupaya meningkatkan derajat pemahaman akan nilai-nilai kebenaran.

            Dijelaskan dalam kutipan,

                        Terhadap Rusli, Parno berkata,”Mas, mohon maaf , saya ini orang yang       tidak beragama. Saya baru berusaha belajar beragama. Otak saya akhir-akhir ini             selalu gelisah akan kebenaran agama yang aku anut selama ini. Jadi, jika ada         perkataan aku yang salah, tolong diingetin dan tolong diluruskan. Boleh nggak      aku bertanya?”

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 137)

  • Kenikmatan dan kelezatan hidup di dunia ini hanya akan terjadi tatkala cinta telah disandarkan secara total kepada Allah.

            Kutipannya,

                        Bila cinta sejati yang selalu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya semata             telah bersemayam di hati seorang hamba, maka kecintaan tersebut akan dapat              menyempurnakan perbuatannya yang penuh dengan kekurangan, serta       mengantarkannya kepada drajat yang tinggi di sisi Allah.

                                                                                                (Makrifat Cinta,2007: 353)